Bruselosis adalah penyakit zoonosis, merupakan penyakit yang disebabkan bakteri gram negatif dari genus brucellae. Penularan pada manusia terjadi setelah paparan di lingkungan kerja atau kontaminasi produk makanan. Walaupun kasusnya sudah jarang terjadi oleh karena keberhasilan program vaksinasi hewan tetap masih menjadi masalah kesehatan di banyak negara berkembang.
Brucella berbentuk kecil, tidak bergerak, bersimpai, tak berspora, dan tidak tahan terhadap asam. Morfologi Brucella adalah kokobasil pendek berukuran 0,5 – 0,7µ × 0,6 – 0,5µ satu persatu terkadang juga membentuk rantai. Brucella termasuk dalam Gram negatif. Brucella akan tumbuh dengan baik pada suhu 37º dan pH optimumnya 6,6 sampai 7,4. Baik juga pada keadaan tekanan karbon dioksida yang meningkat serta dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pemisahan tersebut biasa dilakukan pada percobaan teknik biokimia dan serologi. Pada reaksi biokimiawi, bakteri ini katalisa positif, oksidasi positif dan urea positif selain itu juga mereduksi nitrat menjadi nitrit dan tidak ada karbohidrat yang diragikan
Tiap spesies dari brucella mempunyai hewan reservoir yang spesifik yang menyebabkan penyakit kronik persisten. Organisme ini menyerang organ reproduksi hewan kemudian menyebar ke urine, susu dan cairan plasenta. Lokasi bakteri ini memudahkan penyebaran ke manusia terutama pada petani, dokter hewan, tukang potong hewan, dan akhirnya konsumen.
Etiologi
Terdapat 4 spesies brucella diketahui menyebabkan penyakit pada manusia. Brucella melitensis paling virulen dan menyebabkan bruselosis yang berat dan akut, menyebabkan kecacatan. Brucella suis menyebabkan penyakit kronik, sering berupa lesi destruksi supuratif. Brucella abortus merupakan penyakit sporadis bersifat ringan-sedang dan jarang menyebabkan komplikasi. Brucella canis mempunyai perjalanan penyakit yang sulit dibedakan dengan Brucella abortus, perjalanan penyakitnya tersembunyi sering kambuh dan umumnya tidak menyebabkan penyakit kronik.
Brucella adalah bakteri aerob gram negatif intraselular dengan pertumbuhan yang lambat, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan tidak berkapsul. Bakteri ini dapat bertahan di tempat kering. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kultur dan serologi.
Epidemiologi
Kasus-kasus bruselosis dilaporkan terjadi di Mediterania dan Arab, juga dilaporkan di India, Mexico, amerika Selatan dan Tengah. Di Amerika Serikat, kasus bruselosis jarang terjadi karena keberhasilan dari program vaksinasi. Sejak tahun 1980 kurang lebih 200 kasus dilaporkan. Insiden dan prevalensi bruselosis yang dilaporkan tiap negara berbeda-beda. Angka insiden bruselosis dilaporkan 1,2-70 kasus per 100.000 penduduk.
Angka mortalitas belum diketahui secara pasti tetapi 80% kematian pada kasus bruselosis disebabkan komplikasi endokarditis. di daerah endemik kaum pria lebih sering terkena bruselosis dibanding wanita dengan ratio 5:2-3. Banyak menyerang usia 30-50 tahun, 3-10% kasus dilaporkan terjadi pada anak-anak, lebih berat pada daerah endemik. Pada usia lanjut ditemukan hanya pada kasus yang kronik.
Patofisiologi
Bruselosis adalah penyakit sistemik, dapat melibatkan banyak organ. Penetrasi bakteri lewat epitel akan ditangkap netrofil dan makrofag jaringan, kemudian dibawa ke limfononodus. Bakteremi akan terjadi antara 1-3 minggu setelah terpapar bakteri. Bakteri kemudian mengambil tempat di jaringan retikuloendotelial sistem (RES) terutama pada hati, limpa dan sum-sum tulang. Di organ ini kemudian membentuk jaringan granuloma. Jaringan granuloma yang besar dapat menjadi sumber bakteremi menetap. Faktor utama virulensi brucella terdapat pada dinding sel lipopolisakarida. Brucella canis memiliki dinding lipopilisakarida yang kasar tetapi kurang virulen bagi manusia, berbeda dengan dinding lipopolisakarida yang licin pada B.melitensis dan B.abortus.
Brucella dapat bertahan intraselular dalam fagosom sel fagosit karena produksi adenin dan guanin monofosfat yang menghambat fagolisosom, produksi TNF dan aktifitas oksidatif. Daya tahan dalam intrasel fagosit berbeda-beda tiap spesies. B.abortus lebih muda lisis dalam sel fagosit dari B.melitensis. Perbedaan tipe lipopolisakarida, daya tahan terhadap fagolisosom dapat menjelaskan adanya perbedaan patogenesitas tiap spesies pada manusia.
Gejala Klinis
Gejala bruselosis tidak cukup khas untuk didiagnosis. Beberapa studi besar telah mengumpulkan beberapa gejala bruselosis. Demam intermiten ditemukan pada 60% kasus sub akut brusellosis dan dengan relatif bradikardi. Adanya gejala anoreksia, astenia, fatique, kelemahan dan malaise. Adanya gejala nyeri sendi tulang berupa atralgia, nyeri punggung, nyeri spina dan sendi tulang belakang, bengkak sendi. Gejala ini dijumpai pada 55% penderita. Gejala batuk dan sesak dijumpai pada 19% penderita tetapi jarang mengenai parenkim paru, nyeri dada timbul berupa nyeri pleuritik akibat adanya empiema.
Gejala neuropsikiatri berupa sakit kepala, depresi dan fatique. Keluhan gastrointestinal dijumpai pada 51% penderita berupa nyeri abdomen, mual, konstipasi dan diare.
Secara klinis dapat dibagi menjadi subklinik, akut, subakut dan infeksi kronik. Selain itu lokalisasi infeksi dan kekambuhan juga dideskripsikan lebih lanjut.
Subklinik: penyakit ini biasanya asimptomatik, diagnosis biasanya ditemukan secara kebetulan melalui skrinning tes serologi pada daerah beresiko tinggi.
Akut atau Subakut: penyakit dapat ringan sembuh dengan sendirinya (B.abortus) atau fulminan dengan komplikasi (B.melitensis), gejala dapat timbul 2-3 bulan (akut) 3-12 bulan (subakut). Gejala dan tanda klinis yang paling sering adalah demam, menggigil. berkeringat, malaise, fatique, sakit kepala, arthralgia, anoreksia, limfadenopati dan hepatomegali serta splenomegali.
Kronik: diagnosis ditegakkan dengan gejala yang telah berlangsung 1 tahun atau lebih. Demam yang tidak tinggi dengan keluhan neuropsikiatri adalah gejala yang paling sering dijumpai. Pemeriksaan serologi dan kultur sering negatif. Banyak penderita menjadi persisten karena tidak adekuatnya terapi sejak awal dan adanya penyakit yang terlokalisir.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan ciri spesifik penyakit ini. Sebagian besar ditemukan hepatomegali, splenomegali, hepatospleno-megali dan osteoartikular. Kelainan osteoartikular berupa bengkak sendi, bursitis, berkurangnya range of motion (ROM) dan efusi. Gangguan neurologi berupa poliradikuloneuropati perifer, gejala sistem saraf pusat (hiperrefleksi, klonus, gangguan saraf kranial). Gangguan kulit dijumpai berupa eritema nodusum, abses, erupsi papulonoduler, impetigo, psoriasis, eksim, lesi mirip pitiriasis rosea, erupsi berupa makular, makulopapular, lesi vaskulitis seperti petechiae, purpura dan trombofeblitis. Gangguan pada mata berupa uveitis, keratokunjungtivitis, iridosiklitis, keratitis numularis, koroiditis, nueritis optika dan katarak.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukopeni dengan relatif limfositosis, pansitopeni ditemukan pada 20% kasus. Pada sebagian besar penderita tes fungsi hati dijumpai peningkatan transaminase menyerupai hepatitis. Diagnosis pasti bila pada kultur ditemukannya brucellae. Dengan menggunakan teknik radiometric blood culturing, lamanya isolasi kuman dengan teknik kultur yang standar 30 hari menjadi kurang dari 10 hari.
Sensitifitas kultur darah berkisar 17-85% bergantung strain yang terlibat, B.mellitensis dan B.suis sering ditemukan sebagai penyebab bakteremi. Sensitifitas akan menurun sejalan dengan lamanya perjalanan penyakit.
Pemeriksaan kultur sumsum tulang lebih sensitif dari kultur darah, sering memberikan hasil positif walaupun pada pemeriksaan kultur darah memberi hasil negatif. Hasil biopsi sumsum tulang memberikan gambaran granuloma.
Pada pemeriksaan kultur sputum jarang memberikan hasil positif walaupun telah terjadi komplikasi pada paru-paru. Empiema akibat bruselosis jarang terjadi dan pada pemeriksaan kultur cairan pleura sering memberi hasil positif terutama bila dilakukan kultur sesuai masa inkubasi, khususnya strain B.melitensis. Dari analisis cairan pleura dijumpai proses eksudasi, dijumpai peningkatan enzim LDH dan protein, sedangkan untuk glukosa bervariasi. Sel-sel yang ditemukan terutama limfosit dan neutrofil.
Pada cairan serebrospinal isolasi bakteri jarang diperoleh tetapi dijumpai limfositosis, peningkatan protein sedangkan kadar glukosa normal. Pemeriksaan enzim imunoassay adalah yang paling sensitif dari semua tes, khususnya tes ELISA dapat mendeteksi neurobruselosis.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi ini biasanya menggunakan foto toraks, radiografi spinal, dan radionukleid skintigrafi. Pada foto toraks jarang ditemukan gambaran khas dari bruselosis sekalipun pada penderita yang mengalami gejala pernapasan. Tetapi dalam foto toraks dijumpai limfadenopati paratrakeal dan hilus, penebalan pleura, dan efusi pleura.
Pada radiografi spinal, gangguan osteoartrikular dapat dijumpai kira-kira setelah 2-3 minggu onset penyakit. Selain itu, penderita dengan sakroilitis tampak batas tepi sendi yang kabur dan pelebaran sendi sakroiliaka, terjadi spondilitis pada angulus anterosuperior vertebra, penyempitan discus intervertebra, osteofit, dan sclerosis.
Untuk radionukleid skintigrafi ini lebih sensitive untuk mendeteksi kelainan tulang, khususnya pada awal perjalanan penyakit, walaupun dari pemeriksaan radiologi biasa masih normal. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk deteksi dini bruselosis dengan keluhan muskuloskletal.
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan biopsi hati dijumpai gambaran kejadian inflamasi difus yang menyerupai hepatitis dengan agregasi sel-sel mononuclear, kadang-kadang juga terlihat berbentuk granulomatus. Juga telah dilaporkan bentuk abses hepar yang piogenik.
Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pengobatan pada penderita bruselosis dilakukan untuk mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan serta mencegah terjadinya komplikasi. Obat-obatan yang biasa diberikan antara lain:
1. Doksisiklin, untuk menghambat sintesa protein dengan mengikat ribosom 30S dan 50S. Dosisnya adalah dosisiklin 100 mg setiap 12 jam atau tetrasiklin 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis yang sama per-oral, selama 3-6 minggu ditambah streptomisin 15 mg/kg setiap 12 jam secara intramuskular dalam 2 minggu pertama. Efek sampingnya antara lain hipersensitifitas terhadap matahari, mual dan esofagitis. Penggunaannya baik untuk neurobruselosis dibandingkan tetrasiklin.
2. Gentamisin, untuk menurunkan relaps dan toksisitas. Dosisnya adalah 5 kg/BB, terbagi 2 dosis selama 7 hari. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil kategori C, hipersensitifitas terhadap gentamisin atau aminoglikosida lainnya. Hati-hati pada penderita dengan gangguan neuromuskular, seperti myastenia gravis karena dapat memperberat penyakit. Efek samping gentamisin adalah gangguan vestibular dan pendengaran, bersifat neurotoksik dan menimbulkan rekasi hipersensitifitas.
3. Trimetoprim-sulfametoksazol, untuk menghambat sintesa asam dihidrofalat bakteri. Dosisnya adalah 480/2400 mg/hari selama 4 minggu, meskipun masih sering mengalami relaps. Kontraindikasi pemberian trimetropim-sulfametaksazol yaitu pada wanita hamil kategori C, defisiensi G-6-PD, bayi kurang dari 2 bulan, adanya riwayat hipersensitivitas terhadap golongan obat sulfa. Efek samping penggunaan obat ini adalah diare, mual dan muntah. Dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi hipersensitifitas (sindroma Steven Johnson).
Arthur G. Johson et al. (1993) menyatakan bahwa obat yang paling unggul untuk terapi bruselosis adalah kombinasi tetrasiklin-streptomisin, yang paling mendekati dengan kombinasi tersebut adalah kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol.
b. Non-Medikamentosa
Terapi yang non-medikamentosa sampai saat ini belum ditemukan. Karena bruselosis yang tidak segera ditangani akan berlanjut ke akut/kronik dan hal tersebut sangat membahayakan.
Komplikasi
Komplikasi bruselosis dijumpai pada keadaan infeksi akut atau kronik yang tidak diobati. Paling sering terkena adalah osteoartikular, sistem genito-urinari, hepar, lien.
Komplikasi osteoartikuler terjadi pada 20-60& penderita dan yang paling sering adalah sakroilitis. Piogenik paraspinal terjadi pada usia lanjut. Sendi periferal yang biasanya terkena adalah lutut, siku, bahu, panggul dan dapat monoartikuler juga poliartikuler.
Pemeriksaan radiologi ini biasanya menggunakan foto toraks, radiografi spinal, dan radionukleid skintigrafi. Pada foto toraks jarang ditemukan gambaran khas dari bruselosis sekalipun pada penderita yang mengalami gejala pernapasan. Tetapi dalam foto toraks dijumpai limfadenopati paratrakeal dan hilus, penebalan pleura, dan efusi pleura.
Pada radiografi spinal, gangguan osteoartrikular dapat dijumpai kira-kira setelah 2-3 minggu onset penyakit. Selain itu, penderita dengan sakroilitis tampak batas tepi sendi yang kabur dan pelebaran sendi sakroiliaka, terjadi spondilitis pada angulus anterosuperior vertebra, penyempitan discus intervertebra, osteofit, dan sclerosis.
Untuk radionukleid skintigrafi ini lebih sensitive untuk mendeteksi kelainan tulang, khususnya pada awal perjalanan penyakit, walaupun dari pemeriksaan radiologi biasa masih normal. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk deteksi dini bruselosis dengan keluhan muskuloskletal.
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan biopsi hati dijumpai gambaran kejadian inflamasi difus yang menyerupai hepatitis dengan agregasi sel-sel mononuclear, kadang-kadang juga terlihat berbentuk granulomatus. Juga telah dilaporkan bentuk abses hepar yang piogenik.
Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pengobatan pada penderita bruselosis dilakukan untuk mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan serta mencegah terjadinya komplikasi. Obat-obatan yang biasa diberikan antara lain:
1. Doksisiklin, untuk menghambat sintesa protein dengan mengikat ribosom 30S dan 50S. Dosisnya adalah dosisiklin 100 mg setiap 12 jam atau tetrasiklin 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis yang sama per-oral, selama 3-6 minggu ditambah streptomisin 15 mg/kg setiap 12 jam secara intramuskular dalam 2 minggu pertama. Efek sampingnya antara lain hipersensitifitas terhadap matahari, mual dan esofagitis. Penggunaannya baik untuk neurobruselosis dibandingkan tetrasiklin.
2. Gentamisin, untuk menurunkan relaps dan toksisitas. Dosisnya adalah 5 kg/BB, terbagi 2 dosis selama 7 hari. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil kategori C, hipersensitifitas terhadap gentamisin atau aminoglikosida lainnya. Hati-hati pada penderita dengan gangguan neuromuskular, seperti myastenia gravis karena dapat memperberat penyakit. Efek samping gentamisin adalah gangguan vestibular dan pendengaran, bersifat neurotoksik dan menimbulkan rekasi hipersensitifitas.
3. Trimetoprim-sulfametoksazol, untuk menghambat sintesa asam dihidrofalat bakteri. Dosisnya adalah 480/2400 mg/hari selama 4 minggu, meskipun masih sering mengalami relaps. Kontraindikasi pemberian trimetropim-sulfametaksazol yaitu pada wanita hamil kategori C, defisiensi G-6-PD, bayi kurang dari 2 bulan, adanya riwayat hipersensitivitas terhadap golongan obat sulfa. Efek samping penggunaan obat ini adalah diare, mual dan muntah. Dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi hipersensitifitas (sindroma Steven Johnson).
Arthur G. Johson et al. (1993) menyatakan bahwa obat yang paling unggul untuk terapi bruselosis adalah kombinasi tetrasiklin-streptomisin, yang paling mendekati dengan kombinasi tersebut adalah kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol.
b. Non-Medikamentosa
Terapi yang non-medikamentosa sampai saat ini belum ditemukan. Karena bruselosis yang tidak segera ditangani akan berlanjut ke akut/kronik dan hal tersebut sangat membahayakan.
Komplikasi
Komplikasi bruselosis dijumpai pada keadaan infeksi akut atau kronik yang tidak diobati. Paling sering terkena adalah osteoartikular, sistem genito-urinari, hepar, lien.
Komplikasi osteoartikuler terjadi pada 20-60& penderita dan yang paling sering adalah sakroilitis. Piogenik paraspinal terjadi pada usia lanjut. Sendi periferal yang biasanya terkena adalah lutut, siku, bahu, panggul dan dapat monoartikuler juga poliartikuler.
Prognosis
Bila penatalaksanaannya baik dan pengobatan dilakukan pada bulan pertama penyakit, biasanya dapat sembuh dengan resiko yang rendah, kambuh atau menjadi kronik. Prognosis buruk pada penderita dengan endokarditis, gagal jantung kongestif, angka kematian mencapai 85%.
Kunci untuk menghilangkan bruselosis adalah pemberantasan bruselosis pada hewan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara imunisasi hewan dengan vaksin Brucella hidup yang sudah dilemahkan sehingga dapat menghasilkan kekebalan. Resiko bruselosis juga dapat diturunkan dengan meminum susu yang sudah dipateurisasi, dengan menjaga terhadap pemajanan pada jaringan dari hewan yang sudah terinfeksi. Selain itu, untuk pengamanan ekstra pada individu-individu yang resiko bruselosis pada saat bekerja bisa mengenakan pakaian tebal, sarung tangan, dan kacamata pelindung.
Pencegahan
Pencegahan bruselosis dapat dilakukan dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan, kebersihan perorangan dan eradikasi hewan reservoir. Hindari susu yang tidak dipasteurisasi dan produknya, khususnya dari kambing dan biri-biri. Hati-hati bila bepergian ke daerah endemik antara lain Mediterania, Afrika Utara, Asia Tengah dan Amerika Latin. Hindari kontak dengan hewan reservoir seperti kambing, biri-biri dan unta.