Anemia Pada Lansia

Anemia pada orang tua sering kali terjadi dan sering multifactorial, kegagalan dalam mengevaluasi anemia pada orang tua menyebabkan lambatnya penegakan diagnosis. Anemia pada Geriatri yang tidak diobati berkaitan dengan resiko morbiditas dan mortalitas yang lebih besar dan munculnya status gangguan fungsional, sehingga pada pengobatan anemia pada orang tua dapat meningkatkan status kesehatan. 
Anemia sebenarnya bukanlah merupakan diagnosa akhir dari sesuatu penyakit, akan tetapi merupakan hasil dari berbagai gangguan dan hampir selalu membutuhkan evaluasi lanjutan atau boleh juga dikatakan bahwa anemia merupakan salah satu gejala dari sesuatu penyakit dasar. Ada juga orang yang mengatakan bahwa anemia merupakan ekspresi kompleks gejala klinis suatu penyakit yang mempengaruhi mekanisme patogenesis gangguan eritropoesis (produksi eritrosit), perdarahan, atau penghancuran eritrosit. 
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah. Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. 
Insidensi anemia bervariasi tetapi diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dimana prevalensi tertinggi berada di negara–negara sedang berkembang.
DEFINISI
Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin pada orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan jenis kelamin dan umur dari orang tersebut.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO: World Health Organization) telah ditetapkan batasan anemia yaitu untuk wanita apabilah konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk pria apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).
Klasifikasi Anemia 
a.      Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit 
Anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi atas: mikrositik–hipokromik (MCV < 80 fl, MCHC < 30 g/l), normositik–normokromik (MCV 80–100 fl, MCHC 30 – 35 g/l) dan makrositik–normokromik (MCV > 100 fl, MCHC > 35 g/l). 
Keterangan: 
MCV: Volume korpuskuler rata–rata 
MCHC: Konsentrasi hemoglobin korpuskuler rata–rata
b. Klasifikasi anemia berdasarkan berat–ringan 
Anemia berdasarkan berat ringannya dibagi atas 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat.
c. Mekanisme terjadinya anemia 
Ada beberapa mekanisme untuk terjadinya anemia, yaitu:
1.      Kehilangan darah, misalnya perdarahan, 
2.      Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit), misalnya anemia hemolitik, 
3.      Kelainan pada pembentukan sel darah merah (eritrosit), misalnya kelainan sintesis hemoglobin,
4.      Berkumpul dan dihancurkannya eritrosit di dalam limpa yang membesar, 
5.      Meningkatnya volume plasma, misalnya kehamilan, splenomegali. 
d. Tanda dan gejala anemia berdasarkan berat–ringannya anemia 
e. Hubungan anemia dengan lansia 
Anemia merupakan salah satu gejala sekunder dari sesuatu penyakit pada lansia. Anemia sering dijumpai pada lansia dan meningkatnya insidensi anemia dihubungkan dengan bertambahnya usia telah menimbulkan spekulasi bahwa penurunan hemoglobin kemungkinan merupakan konsekuensi dari pertambahan usia. Tetapi ada 2 alasan untuk mempertimbangkan bahwa anemia pada lansia merupakan tanda dari adanya penyakit, yaitu: 
-Kebanyakan orang–orang lansia mempunyai jumlah sel darah merah normal, demikian juga dengan hemoglobin dan hematokritnya
-Kebanyakan pasien – pasien lansia yang menderita anemia dengan hemoglobin < 12 gr / dL, penyakit dasarnya telah diketahui. 
Meningkatnya perasaan lemah, lelah dan adanya anemia ringan janganlah dianggap hanya sebagai manifestasi dari pertambahan usia. Oleh karena keluhan-keluhan tersebut di atas merupakan gejala telah terjadinya anemia pada lansia. Selain gejala–gejala tersebut di atas, palpitasi, angina dan klaudikasio intermiten juga akan muncul oleh karena biasanya pada lansia telah terjadi kelainan arterial degeneratif. Muka pucat dan konjungtiva pucat merupakan tanda yang dapat dipercayai bahwa seorang lansia itu sebenarnya telah menderita anemia. 
Pada lansia penderita anemia berbagai penyakit lebih mudah timbul dan penyembuhan penyakit akan semakin lama. Yang mana ini nantinya akan membawa dampak yang buruk kepada orang–orang lansia. Dari suatu hasil studi dilaporkan bahwa laki–laki lansia yang menderita anemia, resiko kematiannya lebih besar dibandingkan wanita lansia yang menderita anemia. Juga dilaporkan bahwa lansia yang menderita anemia oleh karena penyakit infeksi mempunyai resiko kematian lebih tinggi.
ETIOLOGI
Anemia   pada   lanjut   usia   dapat   disebabkan   oleh   berbagai   macam   faktor,   antara   lain  genetik, defisiensi vitamin, defisiensi besi, dan penyakit lain. Penyebab anemia yang  paling   umum   pada   lanjut   usia   adalah   penyakit   kronik,   termasuk   inflamasi   kronikkeganasan, dan infeksi kronik. Sedangkan Menurut hasil studi NHANES III (National   Health and Nutrition Examination Study), terdapat 3 penyebab utama anemia pada usia  lanjut , yaitu :
1.  Defisiensi nutrisi / kehilangan darah
2.   Inflamasi / penyakit kronik
3.  Anemia yang tidak dapat dijelaskan (unexplained) 

Proses menua akan berjalan searah dengan menurunnya kapasitas fungsional,  baik pada tingkat seluler maupun tingkat organ. Menurunnya kapasitas untuk berespon  terhadap lingkungan internal yang berubah cenderung membuat orang usia lanjut sulit untuk memelihara kestabilan status fisik.  Lansia secara progresif akan kehilangan daya  tahan terhadap infeksi dan akan makin banyaknya distorsi metabolik dan struktural yang  disebut   sebagai   “penyakit   degeneratif“. Dengan banyaknya distorsi dan   penurunan  cadangan sistem fisiologis  akan terjadi pula gangguan terhadap sistem  hematopoiesis.

EPIDEMIOLOGI
Salah   satu   masalah   kesehatan   yang   sering   diderita   orang–orang   lansia   yaitu  anemia, dan ini merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai pada lansia.  Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri  (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease).  Prevalensi anemia pada pria  lanjut usia adalah 6-30% , sedangkan pada wanita lanjut usia adalah 10-22%12. Akan  tetapi,   prevalensi   tersebut   meningkat   secara   signifikan   pada   usia   di  atas   75   tahun. Anemia pada lansia di atas 85 tahun juga diasosiasikan dengan meningkatnya mortalitas  dan   meningkatnya   risiko   mortalitas   tersebut   bahkan   meningkat   dua   kali   lipat jika dibandingkan dengan lanjut usia dengan kadar hemoglobin yang normal.  
Prevalensi anemia pada lansia adalah sekitar 8–44%, dengan prevalensi tertinggi pada laki–laki usia 85 tahun atau lebih. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan bahwa prevalensi anemia pada laki–laki lansia adalah 27–40% dan wanita lansia sekitar 16–21%. 
Penyebab   anemia   yang   paling   sering   pada   lansia   yaitu   penyakit   kronik.   Manifestasi penyakit kronik pada lansia seringkali berbeda dengan penyakit kronik pada  usia muda.  Prevalensi dan akumulasi penyakit kronik yang meningkat pada lansia, sering memberikan gejala yang mengaburkan atau menutupi gejala penyakit atau masalah akut yang baru dialami karena adanya tumpang tindih antara tanda dan gejala penyakit kronik dan   akut. Dengan   besarnya   prevalensi   anemia   penyakit   kronik   pada   lansia,   dapat dikatakan bahwa anemia menjadi gejala yang paling sering timbul pada lansia dengan penyakit kronik. Namun, karena frekuensinya yang demikian sering, anemia seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. 

PATOFISIOLOGI
Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya anemia pada usila, yaitu:
a. Penurunan kinerja sumsum tulang: sumsum tulang, meskipun sepanjang hidup selalu dinamis dalam memproduksi sel darah merah dan mereplikasi diri (self-replication) untuk menunjang fungsinya, sumsum tulang tetap saja melalui periode penurunan fungsi secara fisiologis ke tahap yang drastis. Dimana periode ini disebut tahap inovulasi sumsum tulang. Pada tahap ini yang mencolok ialah penurunan daya replikasi sumsum tulang sehingga baik stroma sumsum tulang yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel-sel induk (pluripoten) maupun kecepatan diferensiasi sel-sel progenitor untuk mencapai maturitas, akan menurun. Dampak globalnya ialah terjadi penurunan sintesis sel darah merah. Hal inilah yang mendasari betapa mudahnya seorang usila terkena onset anemia.
b. Penyakit kronis yang mendasari: adanya penyakit kronis pada seorang usila, mempercepat dimulainya anemia. Di samping itu, dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa faktor-faktor pembekuan menurun seiring usia, juga sistem imunitas tubuh yang kian menurun, sehingga mempersulit terjadinya suatu tahap penyembuhan. Penyakit kronis, yang notabenenya adalah onset perdarahan, akan sulit disembuhkan pada kondisi usila dengan gangguan faktor pembekuan dan imunitas. Perdarahan yang terjadi semakin lama, semakin kronis. Anemia yang terjadi biasanya ialah anemia defisiensi besi akibat perdarahan kronis. 
c. Penurunan sintesis eritropoietin: kemampuan ginjal dalam berbagai fungsinya akan terus menurun seiring proses penuaan, termasuk kemampuannya dalam mensintesis eritropoietin. Kompensasi tubuh hanya mampu menghasilkan 10 % eritropoietin apabila ginjal tidak memproduksinya. Kekurangan eritropoietin yang merupakan faktor pertumbuhan sel darah merah, mengakibatkan  progenitor eritroid tidak berdiferensiasi menjadi sel darah merah. Kekurangan sel darah merah mengakibatkan kekurangan hemoglobin, sehingga terjadi anemia.
d. Proses autoimun: kadangkala ada proses autoimun yang mendasari terjadinya anemia. Sel-sel parietal lambung yang akibat proses autoimun mengalami atrofi, mengakibatkan lambung menjadi tipis dengan infiltrasi sel plasma dan limfosit, sehingga berdampak pada penurunan cadangan faktor intrinsik di parietal lambung. Dimana faktor intrinsik yang menurun di parietal lambung ini mengakibatkan ileum sedikit menyerap vitamin B 12. Dampaknya terjadi anemia megaloblastik (anemia pernisiosa). 
e. Kurang intake: pada usila, penurunan nafsu makan secara fisiologis akan terjadi. Apabila sampai ke periode tersebut, meskipun sedikit berpengaruh terhadap kurangnya intake atau asupan, faktor ini masih dipertimbangkan karena faktor diet yang buruk tidak jarang mengakibatkan anemia, terutama anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan akibat kurang nafsu makan sehingga kurang asupan, akan memperburuk percepatan tingginya nafsu makan lagi karena anemia sendiri tidak hanya sebagai akibat dari kurang nafsu makan, tetapi juga sebagai penyebab kurangnya nafsu makan. Hasilnya, keadaan ini menjadi suatu lingkaran setan. 

MANIFESTASI KLINIS 
Adapun gejala-gejala dari anemia adalah: 
1. Lemah, lesu, pusing, mudah marah atau sulit konsentrasi. 
2. Pucat terutama pada gusi dan kelopak mata atau bawah kuku. 
3. Jantung berdebar nafas pendek. 
4. Sariawan mulut atau lidah, bilur-bilur atau pendarahan tidak biasa. 
5. Mati rasa atau kesemutan di daerah kaki. 
6. Mual dan diare
DIAGNOSIS
Oleh sebab itu, dalam diagnosis anemia pada lansia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia saja,  tetapi  harus  dipikirkan  mengenai   penyakit  yang  mendasarinya.   Sehingga,  perlu dilakukan evaluasi lanjutan walaupun gejala klinis yang lain tidak ada.  
PENATALAKSANAAN
Sebagian besar anemia disebabkan oleh karena kekurangan zat besi, penyebab lainnya sangat kecil seperti kekurangan asam folat dan vitamin B12. Pada usia penyebab kurangnya zat besi dapat beragam, tidak hanya karena kekurangan asupan zat besi tetapi juga karena terganggunya proses penyerapan zat besi. 
Komponen sel darah merah tidak boleh digunakan untuk mengobati anemia yang dapat dikoreksi dengan obat-obatan spesifik seperti besi, vitamin B-12, asam folat, atau erytropoetin. 
Angka kejadian anemia pada usila dapat diturunkan melalui 3 langkah utama yaitu 1) perubahan pola minum, 2) meningkatkan asupan lauk (protein hewani), dan 3) meningkatkan asupan pauk (protein nabati).

Tidak ada komentar: