Salju Kematian


Salju
kematian
www.madu-jomo.blogspot.comSiang angkat kaki dari kursi waktu yang ditidurinya. Sore datang dengan setali mimpi yang bergelantungan ditangan kiri. Sedang ringkik dan nyanyian awan bergemuruh kalahkan deru jerit roda kereta.
Dari timur sehelai angin berhembus, menghantam gedung-gedung dan wajahku, bersamaan jatuhnya daun mangga yang berusaha keras mengubur tanah kosong, seberang setasiun. Di sebelah utara sunset limbung tertimpa mega.
Kilau senja semakin membahana, mengambil bergumpal teduhnya angan. Dalam bayangnya jatuh seketsa burung-burung dedali yang kian sibuk mencari istri dan anak-anaknya berada. Sedangkan aku terjerembab kedalam anyir dan busuknya suasana stasiun Walikukun.
“Duer!!!”
Lamunanku buyar, berceceran bak pasir kering digurun. Sedang malaikat kian sibuk mengejar dan menghantami syetan-syetan yang sedang mengintim rumah Tuhan.
“Gluduk! Gluduk! Gluduk! Duer!!”
Akhirnya awanpun bergejolak. Jerit tangisnya yang mulanya “tik! Tik! Tik!” kian keras memukul-mukul angin, menikam bumi hingga nyinyir jeritnya terhirup olehku. Hujan turun. Deras!
Sudah enam kereta yang lewat, majalah Horison belum selesai juga kubaca. Sedangkan petang kian hitam menghadang. Sesekali kugeser pantatku, coba sedikit toleransi kepada mereka yang sedang menunggu datangnya kereta arah Jogja.
Tiga sajak dirubrik cermin habis juga kueja. Kini giliran sajak ke empat, “Tiga Sajak Dimusim Dingin”. Kubaca ia berulang-ulang, kurenungkan, dan tertangkap olehku warna lukisan dunia yang penuh guratan disana. Hingga rangkaian anganpun kembali tersiram, subur dan melahirkan kelezatan dalam tangkainya. Dan hujanpun melambankan impian hingga reda!
“Goll!”.
Jerit riang anak bermain bola, samping stasiun, keras menyapa. Reflek, kami semua, penunggu kereta, menatap cerah raut-raut mereka yang basah. Namun keceriaan itu sirna seketika. Saat teriakan “Copet! Tolong ada copeeeet!”. Kelucuan yang tercermin berubah menjadi guratan-guratan mengerikan, buas, laksana serigala kelaparan. Mereka berlari meninggalkan lapangan, berebut jalan guna menangkap mangsa yang mulai terengah-engah guna mempertahankan nyawanya.
Jalan macet, orang beterbaran disegala penjuru. Teriakan-teriakan menakutkan pun semakin keras terlontar dari mulut setiap pemburu. Sesekali batu dan kayu beterbangan mengejar pencopet.
Dekat pangkalan ojek, depan warteg samping wartel Kurnia copet itu tertangkap. Bodoh dia, seharusnya dia berjalan lurus atau menyeberang jalan raya, bukannya belok kekiri menuju jalan buntu.
“Mampus lu!” ucap seorang sambil melemparkan tinjunya, kearah muka pencopet.
“hajar saja, biar koit!” teriak tukang ojek.
Mereka saling memuntahkan segala bentuk amarahnya dengan pukulan, ludahan, tendangan, hantaman sepatu, sandal, kayu, dan lemparan batu tanpa lelah. Seperti hujan, serangan itu datang. Darahpun tercecer dimana-mana. Tubuh anak belasan tahun yang tak berdaya itu diseretnya kian kemari dan berhenti ditengah lapangan.
Hujan mulai reda. Kereta yang datang kosong, tak berpenumpang, masinis melongok keluar, menatap tontonan tragis disebelah.
Tiba-tiba semua orang menyingkir, memberi jalan kepada seseorang yang berbadan tegap, berbaju biru lengan panjang, dan bercelana jeans hitam yang datang dengan membawa seember bensin.
“Bakar!” teriaknya.
Sesaat orang-orang saling melihat sebelum ikut bersuara, “Bakar! Ya, bakar saja dia!”. Sedangkan sikorban meronta minta tolong dengan darah yang bermuntahan dari hidung dan mulutnya. Mereka benar tak berampun, mereka tetap menghantam dan memukulinya tanpa henti sebelum seseorang entah siapa menyulutnya?
“Buuus!”
Api berkobar melahap sikorban, seragam putih, abu-abu itu berubah hitam kelam, wangi parfum axe beraduk dengan bau anyir darah dan daging hangus terbakar. Dia berteriak meminta tolong dibalik usahanya menahan hawa panas yang melilit tubuhnya. Begitu juga denganku yang hanya mampu melenguh dibalik pagar stasiun.
“Aaaaaah! Tolonggg! Ampuuun!!”
Tak seorangpun yang bergeming. Mereka hanya bergunjing sambil menutup hidung.
Hujan yang sempat terhenti turun kembali. Menolong sikorban, lebih cepat dari aparat. Kerumunan pun terbelah diberbagai arah yang tak henti-hentinya membicarakan sikorban. Sambil berteduh mereka menatap daging segar yang hangus kelojotan.
Suara takbir Magrib datang dati timur, barat, utara, dan selatan setasiun; meredam amarah, melerai keadaan dan mengantar sikorban menuju gerbang kehidupan selanjutnya. Sedangkan aku yang tadinya berdiri dibalik pagar lapangan kembali duduk, menatap debu yang mulai berenang dikelopak mataku.
Diskusi panjangpun tak terhenti, niat penumpang untuk lekas pulang terhadang oleh naskah-naskah yang mereka buat sendiri. Tak ada alur kejadian yang sesuai dengan kenyataanya. Mereka saling menyanggah dan selalu memperkuat hal tersebut dengan opini masing-masing. Dan akhir jawaban dari berbagai pertanyaan yang mereka dapatkan dari orang yang ingin tahu hal tersebut, mereka pula yang menjawabnya dengan jawaban yang sesuai dengan pendapatnya sendiri tentunya. Mereka menjawab, “Dia pantas mendapatkan itu, mereka harus dibasmi!”
Niatku untuk terus menulis puisi tak terwujud karenanya. Sedangkan kunang-kunang yang kutunggu belum juga datang dan menunjukkan cahayanya. Hasratku untuk lekas berdiri dan lekas meninggalkan setasiun pun berhenti, saat seseorang memanggilku.
“maaf. Aku terlambat!”.
Aku tersenyum kecil padanya. Dan Andi membalasnya dengan penuh ragu. Mukanya pucat tak berdaya. Bibirnya bergetar penuh misteri. Ah, sahabat kekasihku itu benar-benar jelek mukanya, terlihat. Benar-benar tak sedap dipandang. Tak seperti hari-hari biasanya.
“apa yang terjadi?” tanyaku bingung.
“Anu. Ku, Kusuma pergi Win,”
“Apa maksudmu?”
Andi semakin bingung. Tak tahu harus berkata apa.
“Ada apa Di?”
Andi masih saja bingung. Mukanya semakin pucat, rambutnya yang agak panjang awut-awutan.
“Di, ada apa Di?”
Andi menghela nafas panjang.
“Di, jangan kau bikin aku gusar-gusar Di!”
Akhirnya Andipun menyerah. Dia mendekat padaku berharap agar suaranya tak terdengar orang lain. Maka didekatkannyalah mulutnya ketelinga kiriku.
“Kusuma tertangkap,” ucapnya berbisik.
“Aku tak mengerti. Apa maksudmu?”
“Kusuma tertangkap,” ucapnya kembali.
“Maksudmu?”tanyaku ragu dengan menatap lapangan.
“Ya, orang yang dibakar itu adalah Kusuma-mu.”
“Maksudmu? Kau bohong! Bohong! Jangan bercanda Kau!”
Andi menggeleng menjawabku.
“Bohong! Kau pasti bohong. Katakan itu bohong Di! Kenapa? Kenapa Di?”
“Maafkan aku Win! Seharusnya akulah yang mereka tangkap. Tapi Win, itu semua aku lakukan untuk…,”
Aku tak lagi mendengar suaranya. Gemuruh langit kian keras terdengar, awan hitam menyeruak dalam pelupuk mataku. Angin berhembus dingin, bulan mengelupas kulitnya, bintang tercerabut akarnya dan salju kematian menghampiriku.
Dari selatan Bedug isya’ menyeruak harum penuh do’a. sedangkan aku semakin tersudut diatas takbir terakhir.
Hujan semakin keras menikam hati dan perjalananku. Sedangkan mimpi merintih lewat rinai sendu guntur malam itu.

Tidak ada komentar: