Brucellosis

   Bruselosis adalah penyakit zoonosis, merupakan penyakit yang disebabkan bakteri gram negatif dari genus brucellae. Penularan pada manusia terjadi setelah paparan di lingkungan kerja atau kontaminasi produk makanan. Walaupun kasusnya sudah jarang terjadi oleh karena keberhasilan program vaksinasi hewan tetap masih menjadi masalah kesehatan di banyak negara berkembang. 
   Brucella berbentuk kecil, tidak bergerak, bersimpai, tak berspora, dan tidak tahan terhadap asam. Morfologi Brucella adalah kokobasil pendek berukuran 0,5 – 0,7µ × 0,6 – 0,5µ satu persatu terkadang juga membentuk rantai. Brucella termasuk dalam Gram negatif.  Brucella akan tumbuh dengan baik pada suhu 37º dan pH optimumnya 6,6 sampai 7,4. Baik juga pada keadaan tekanan karbon dioksida yang meningkat serta dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pemisahan tersebut biasa dilakukan pada percobaan teknik biokimia dan serologi. Pada reaksi biokimiawi, bakteri ini katalisa positif, oksidasi positif dan urea positif selain itu juga mereduksi nitrat menjadi nitrit dan tidak ada karbohidrat yang diragikan
   Tiap spesies dari brucella mempunyai hewan reservoir yang spesifik yang menyebabkan penyakit kronik persisten. Organisme ini menyerang organ reproduksi hewan kemudian menyebar ke urine, susu dan cairan plasenta. Lokasi bakteri ini memudahkan penyebaran ke manusia terutama pada petani, dokter hewan, tukang potong hewan, dan akhirnya konsumen.
Etiologi
   Terdapat 4 spesies brucella diketahui menyebabkan penyakit pada manusia. Brucella melitensis paling virulen dan menyebabkan bruselosis yang berat dan akut, menyebabkan kecacatan. Brucella suis menyebabkan penyakit kronik, sering berupa lesi destruksi supuratif. Brucella abortus merupakan penyakit sporadis bersifat ringan-sedang dan jarang menyebabkan komplikasi. Brucella canis mempunyai perjalanan penyakit yang sulit dibedakan dengan Brucella abortus, perjalanan penyakitnya tersembunyi sering kambuh dan umumnya tidak menyebabkan penyakit kronik.
   Brucella adalah bakteri aerob gram negatif intraselular dengan pertumbuhan yang lambat, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan tidak berkapsul. Bakteri ini dapat bertahan di tempat kering. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kultur dan serologi.

Epidemiologi
   Kasus-kasus bruselosis dilaporkan terjadi di Mediterania dan Arab, juga dilaporkan di India, Mexico, amerika Selatan dan Tengah. Di Amerika Serikat, kasus bruselosis jarang terjadi karena keberhasilan dari program vaksinasi. Sejak tahun 1980 kurang lebih 200 kasus dilaporkan. Insiden dan prevalensi bruselosis yang dilaporkan tiap negara berbeda-beda. Angka insiden bruselosis dilaporkan 1,2-70 kasus per 100.000 penduduk.
   Angka mortalitas belum diketahui secara pasti tetapi 80% kematian pada kasus bruselosis disebabkan komplikasi endokarditis. di daerah endemik kaum pria lebih sering terkena bruselosis dibanding wanita dengan ratio 5:2-3. Banyak menyerang usia 30-50 tahun, 3-10% kasus dilaporkan terjadi pada anak-anak, lebih berat pada daerah endemik. Pada usia lanjut ditemukan hanya pada kasus yang kronik.

Patofisiologi
   Bruselosis adalah penyakit sistemik, dapat melibatkan banyak organ. Penetrasi bakteri lewat epitel akan ditangkap netrofil dan makrofag jaringan, kemudian dibawa ke limfononodus. Bakteremi akan terjadi antara 1-3 minggu setelah terpapar bakteri. Bakteri kemudian mengambil tempat di jaringan retikuloendotelial sistem (RES) terutama pada hati, limpa dan sum-sum tulang. Di organ ini kemudian membentuk jaringan granuloma. Jaringan granuloma yang besar dapat menjadi sumber bakteremi menetap. Faktor utama virulensi brucella terdapat pada dinding sel lipopolisakarida. Brucella canis memiliki dinding lipopilisakarida yang kasar tetapi kurang virulen bagi manusia, berbeda dengan dinding lipopolisakarida yang licin pada B.melitensis dan B.abortus.
   Brucella dapat bertahan intraselular dalam fagosom sel fagosit karena produksi adenin dan guanin monofosfat yang menghambat fagolisosom, produksi TNF dan aktifitas oksidatif. Daya tahan dalam intrasel fagosit berbeda-beda tiap spesies. B.abortus lebih muda lisis dalam sel fagosit dari B.melitensis. Perbedaan tipe lipopolisakarida, daya tahan terhadap fagolisosom dapat menjelaskan adanya perbedaan patogenesitas tiap spesies pada manusia.

Gejala Klinis
   Gejala bruselosis tidak cukup khas untuk didiagnosis. Beberapa studi besar telah mengumpulkan beberapa gejala bruselosis. Demam intermiten ditemukan pada 60% kasus sub akut brusellosis dan dengan relatif bradikardi. Adanya gejala anoreksia, astenia, fatique, kelemahan dan malaise. Adanya gejala nyeri sendi tulang berupa atralgia, nyeri punggung, nyeri spina dan sendi tulang belakang, bengkak sendi. Gejala ini dijumpai pada 55% penderita. Gejala batuk dan sesak dijumpai pada 19% penderita tetapi jarang mengenai parenkim paru, nyeri dada timbul berupa nyeri pleuritik akibat adanya empiema.
   Gejala neuropsikiatri berupa sakit kepala, depresi dan fatique. Keluhan gastrointestinal dijumpai pada 51% penderita berupa nyeri abdomen, mual, konstipasi dan diare.
   Secara klinis dapat dibagi menjadi subklinik, akut, subakut dan infeksi kronik. Selain itu lokalisasi infeksi dan kekambuhan juga dideskripsikan lebih lanjut.
   Subklinik: penyakit ini biasanya asimptomatik, diagnosis biasanya ditemukan secara kebetulan melalui skrinning tes serologi pada daerah beresiko tinggi.
   Akut atau Subakut: penyakit dapat ringan sembuh dengan sendirinya (B.abortus) atau fulminan dengan komplikasi (B.melitensis), gejala dapat timbul 2-3 bulan (akut) 3-12 bulan (subakut). Gejala dan tanda klinis yang paling sering adalah demam, menggigil. berkeringat, malaise, fatique, sakit kepala, arthralgia, anoreksia, limfadenopati dan hepatomegali serta splenomegali.
   Kronik: diagnosis ditegakkan dengan gejala yang telah berlangsung 1 tahun atau lebih. Demam yang tidak tinggi dengan keluhan neuropsikiatri adalah gejala yang paling sering dijumpai. Pemeriksaan serologi dan kultur sering negatif. Banyak penderita menjadi persisten karena tidak adekuatnya terapi sejak awal dan adanya penyakit yang terlokalisir.
   Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan ciri spesifik penyakit ini. Sebagian besar ditemukan hepatomegali, splenomegali, hepatospleno-megali dan osteoartikular. Kelainan osteoartikular berupa bengkak sendi, bursitis, berkurangnya range of motion (ROM) dan efusi. Gangguan neurologi berupa poliradikuloneuropati perifer, gejala sistem saraf pusat (hiperrefleksi, klonus, gangguan saraf kranial). Gangguan kulit dijumpai berupa eritema nodusum, abses, erupsi papulonoduler, impetigo, psoriasis, eksim, lesi mirip pitiriasis rosea, erupsi berupa makular, makulopapular, lesi vaskulitis seperti petechiae, purpura dan trombofeblitis. Gangguan pada mata berupa uveitis, keratokunjungtivitis, iridosiklitis, keratitis numularis, koroiditis, nueritis optika dan katarak.

Pemeriksaan Laboratorium
   Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukopeni dengan relatif limfositosis, pansitopeni ditemukan pada 20% kasus. Pada sebagian besar penderita tes fungsi hati dijumpai peningkatan transaminase menyerupai hepatitis. Diagnosis pasti bila pada kultur ditemukannya brucellae. Dengan menggunakan teknik radiometric blood culturing, lamanya isolasi kuman dengan teknik kultur yang standar 30 hari menjadi kurang dari 10 hari.
   Sensitifitas kultur darah berkisar 17-85% bergantung strain yang terlibat, B.mellitensis dan B.suis sering ditemukan sebagai penyebab bakteremi. Sensitifitas akan menurun sejalan dengan lamanya perjalanan penyakit.
   Pemeriksaan kultur sumsum tulang lebih sensitif dari kultur darah, sering memberikan hasil positif walaupun pada pemeriksaan kultur darah memberi hasil negatif. Hasil biopsi sumsum tulang memberikan gambaran granuloma.
   Pada pemeriksaan kultur sputum jarang memberikan hasil positif walaupun telah terjadi komplikasi pada paru-paru. Empiema akibat bruselosis jarang terjadi dan pada pemeriksaan kultur cairan pleura sering memberi hasil positif terutama bila dilakukan kultur sesuai masa inkubasi, khususnya strain B.melitensis. Dari analisis cairan pleura dijumpai proses eksudasi, dijumpai peningkatan enzim LDH dan protein, sedangkan untuk glukosa bervariasi. Sel-sel yang ditemukan terutama limfosit dan neutrofil.
   Pada cairan serebrospinal isolasi bakteri jarang diperoleh tetapi dijumpai limfositosis, peningkatan protein sedangkan kadar glukosa normal. Pemeriksaan enzim imunoassay adalah yang paling sensitif dari semua tes, khususnya tes ELISA dapat mendeteksi neurobruselosis.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi ini biasanya menggunakan foto toraks, radiografi spinal, dan radionukleid skintigrafi. Pada foto toraks jarang ditemukan gambaran khas dari bruselosis sekalipun pada penderita yang mengalami gejala pernapasan. Tetapi dalam foto toraks dijumpai limfadenopati paratrakeal dan hilus, penebalan pleura, dan efusi pleura.
   Pada radiografi spinal, gangguan osteoartrikular dapat dijumpai kira-kira setelah 2-3 minggu onset penyakit. Selain itu, penderita dengan sakroilitis tampak batas tepi sendi yang kabur dan pelebaran sendi sakroiliaka, terjadi spondilitis pada angulus anterosuperior vertebra, penyempitan discus intervertebra, osteofit, dan sclerosis.
   Untuk radionukleid skintigrafi ini lebih sensitive untuk mendeteksi kelainan tulang, khususnya pada awal perjalanan penyakit, walaupun dari pemeriksaan radiologi biasa masih normal. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk deteksi dini bruselosis dengan keluhan muskuloskletal.

Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan biopsi hati dijumpai gambaran kejadian inflamasi difus yang menyerupai hepatitis dengan agregasi sel-sel mononuclear, kadang-kadang juga terlihat berbentuk granulomatus. Juga telah dilaporkan bentuk abses hepar yang piogenik.

Penatalaksanaan
a.  Medikamentosa
Pengobatan pada penderita bruselosis dilakukan untuk mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan serta mencegah terjadinya komplikasi. Obat-obatan yang biasa diberikan antara lain:
1.   Doksisiklin, untuk menghambat sintesa protein dengan mengikat ribosom 30S dan 50S. Dosisnya adalah dosisiklin 100 mg setiap 12 jam atau tetrasiklin 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis yang sama per-oral, selama 3-6 minggu ditambah streptomisin 15 mg/kg setiap 12 jam  secara intramuskular dalam 2 minggu pertama. Efek sampingnya antara lain hipersensitifitas terhadap matahari, mual dan esofagitis. Penggunaannya baik untuk neurobruselosis dibandingkan tetrasiklin.
2.   Gentamisin, untuk menurunkan relaps dan toksisitas. Dosisnya adalah 5 kg/BB, terbagi 2 dosis selama 7 hari. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil kategori C, hipersensitifitas terhadap gentamisin atau aminoglikosida lainnya. Hati-hati pada penderita dengan gangguan neuromuskular, seperti myastenia gravis karena dapat memperberat penyakit. Efek samping gentamisin adalah gangguan vestibular dan pendengaran, bersifat neurotoksik dan menimbulkan rekasi hipersensitifitas.
3.   Trimetoprim-sulfametoksazol, untuk menghambat sintesa asam dihidrofalat bakteri. Dosisnya adalah 480/2400 mg/hari selama 4 minggu, meskipun masih sering mengalami relaps. Kontraindikasi pemberian trimetropim-sulfametaksazol yaitu pada wanita hamil kategori C, defisiensi G-6-PD, bayi kurang dari 2 bulan, adanya riwayat hipersensitivitas terhadap golongan obat sulfa. Efek samping penggunaan obat ini adalah diare, mual dan muntah. Dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi hipersensitifitas (sindroma Steven Johnson).
Arthur G. Johson et al. (1993) menyatakan bahwa obat yang paling unggul untuk terapi bruselosis adalah kombinasi tetrasiklin-streptomisin, yang paling mendekati dengan kombinasi tersebut adalah kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol.
b.  Non-Medikamentosa
Terapi yang non-medikamentosa sampai saat ini belum ditemukan. Karena bruselosis yang tidak segera ditangani akan berlanjut ke akut/kronik dan hal tersebut sangat membahayakan.

Komplikasi
   Komplikasi bruselosis dijumpai pada keadaan infeksi akut atau kronik yang tidak diobati. Paling sering terkena adalah osteoartikular, sistem genito-urinari, hepar, lien.
  Komplikasi osteoartikuler terjadi pada 20-60& penderita dan yang paling sering adalah sakroilitis. Piogenik paraspinal terjadi pada usia lanjut. Sendi periferal yang biasanya terkena adalah lutut, siku, bahu, panggul dan dapat monoartikuler juga poliartikuler.

Prognosis
   Bila penatalaksanaannya baik dan pengobatan dilakukan pada bulan pertama penyakit, biasanya dapat sembuh dengan resiko yang rendah, kambuh atau menjadi kronik. Prognosis buruk pada penderita dengan endokarditis, gagal jantung kongestif, angka kematian mencapai 85%.
   Kunci untuk menghilangkan bruselosis adalah pemberantasan bruselosis pada hewan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara imunisasi hewan dengan vaksin Brucella hidup yang sudah dilemahkan sehingga dapat menghasilkan kekebalan. Resiko bruselosis juga dapat diturunkan dengan meminum susu yang sudah dipateurisasi, dengan menjaga terhadap pemajanan pada jaringan dari hewan yang sudah terinfeksi. Selain itu, untuk pengamanan ekstra pada individu-individu yang resiko bruselosis pada saat bekerja bisa mengenakan pakaian tebal, sarung tangan, dan kacamata pelindung.

Pencegahan
   Pencegahan bruselosis dapat dilakukan dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan, kebersihan perorangan dan eradikasi hewan reservoir. Hindari susu yang tidak dipasteurisasi dan produknya, khususnya dari kambing dan biri-biri. Hati-hati bila bepergian ke daerah endemik antara lain Mediterania, Afrika Utara, Asia Tengah dan Amerika Latin. Hindari kontak dengan hewan reservoir seperti kambing, biri-biri dan unta.






































































































  

Leptospirosis

   Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal sebagai Weil's disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.
   Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious diseases.

Etiologi
   Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 mikrometer, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 mikrometer. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat rotasi aktif tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletcher's dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans yang patogen dan L.biflexa yang non patogen/ saprofit. Tujuh spesies dari leptospira patogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA nya, namun lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. 
   Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah L.icterohaemorrhagica dengan reservoir  tikus, L.canicola dengan reservoir anjing dan L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.

Epidemiologi
   Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua Antartika, namun terbanyak didapati daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal atau air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan terus menerus serta ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan
   Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, sumatera Utara, Bali, NTB, sulawesi Selatan, sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002 dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian.

Penularan
   Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika ada luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang deraspun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leprospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan, atau dokter hewan.

Patogenesis
   Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganismenya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.
   Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenesa leptospirosis : invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.








Patologi
   Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoselular dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologis terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenal leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.

Gambaran Klinis
   Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
   Fase Leptospiraemia. Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di daerah frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran dan hal ini terjadi apabila leptospira sudah masuk ke dalam cairan serebrospinal yang diduga diperantarai oleh mekanisme imunologis.
   Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia karena leptospira sudah memasuki ruang anterior mata dan hal ini dapat bertahan beberapa bulan.
  Pada kulit dapat dijumpai rash yang terbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadamg-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal. Penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
Fase imun. Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40oC disertai mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petekie, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasiperdarahan yang paling sering. Conjungtiva infection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis.
   Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.


Diagnosis
   Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diastesis hemoragik bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis. Pada anamnesis penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala/ keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dll.
   Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria, leukosituria dan torak (cast).
   Bila organ hati terlibat, bilirubin direct meningkat tanpa peningkatan transaminase, BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.
1. Kultur : dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan.
2. Serologi : jenis uji serologi dapat dilihat untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver stain atau fluorescent antibody stain dan mikroskop lapangan gelap.


Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti Penisilin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin, Amoksisilin, Ampisilin (aspek terapi kausatif). Aspek terapi suportif adalah dengan pemberian antipiretik dan pemberian nutrisi yang baik. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, menurut Turner, pemberian penisilin atau tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik. Cara mengobati penderita leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
  • Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6-8 megaunit secara intravena, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari
  • Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit secara i.m, separuh dosis dapat diberikan selama 5-6 hari. Procaine penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah terjadi albuminuria
  • Untuk penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu Tetracycline atau Erythromycine. Tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 ahri. Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.
Prognosis
   Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada usia di bawah 30 tahun dan pada usia lanjut mencapai 30-40 tahun.




KESIMPULAN
   Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi lebih berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terpapar diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.









Referensi: Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009




























































Luka Bakar

   Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi.
   Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.

Beratnya luka Bakar
   Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas dan letak luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.

Derajat luka Bakar
   Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu tinggi. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (woll). Bahan sintesis seperti nilon dan dakron selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi lalu menjadi lengket, sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
   Luka bakar derajat satu hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas setempat.
   Luka bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen epitel sehat yang tersisa. Elemen epitel tersebut, misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka dapat sembuh sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meninggi.
   Luka bakar derajat tiga meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis atau organ yang lebih dalam. Tidak ada elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka. Oleh karena itu untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.
   Diagnosis banding ditentukan dengan uji tusuk jarum. Uji dilakukan dengan menusukkan jarum untuk menentukan apakah daerah luka bakar masih memiliki daya rasa. Bila tusukan ini masih terasa artinya sensorisnya masih berfungsi dan dermis masih vital, luka tersebut bukan derajat tiga.

Luas luka Bakar
   Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang dewasa digunakan "rumus 9" yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai, dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya 1 % adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
   Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak-anak.
   Untuk anak, kepala, leher 15%, badan depan dan belakang, masing-masing 20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15%.
   Selain dalam dan luasnya permukaan, prognosis dan penanganan ditentukan oleh letak daerah yang terbakar, usia, dan keadaan kesehatan penderita. Daerah perineum, ketiak, leher, dan tanagan sulit perawatannya, antara lain karena mudah mengalami kontraktur.
   Karena bayi dan orang usia lanjut daya kompensasinya lebih rendah maka bila terbakar digolongkan dalam golongan berat.

Patofisiologi
   Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga.
   Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan-lahan maksimal terjadi setelah 8 jam.
   Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi pada di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan nafas karena gas, asap, atau uap panas yang terhisap. Udem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan nafas dengan gejala sesak nafas, takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
   Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO penderita dapat meninggal.
   Setelah 12-24 jam permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya deuresis.
   Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nasokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
    Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjad nekrotik, akibatnya luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehigga jaringan yang didarahinya nanti.
    Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya, luka bakar ini disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok septik dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemn epitel yang masih vital, misalnya sel sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik sangat jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
    Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik, dan pada fase akut maka peristaltis menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi maka peristaltis dapat menurun karena kekerungan ion kalium. Stres dan beban faal yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadi tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik, yang disebut sebagai tukak Curling. Yang dikhawatirkan pada tukak Curling adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan/atau melena.
    Jaringan nekrosis yang ada melepas toksin (burn toxin, suatu lipid protein kompleks) yang dapat menimbulkan SIRS bahkan sepsis yang menyebabkan disfungsi dan kegagalan fungsi organ-organ tubuh seperti hepar dan paru (ARDS), yang berakhir kematian. Reaksi inflamasi yang berkepanjangan akibat luka bakar menyebabkan kerapuhan jaringan dan struktur-struktur fungsional. Kondisi ini menyebabkan timbulnya parut yang tidak beraturan (hipertrofik), kontraktur, deformitas sendi dan lain-lain.
    Fase permulaan luka bakar merupakan fase metabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi, prognosis luka bakar terutama ditentukan oleh luasnya luka bakar.

Terapi
   Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala. Korban dapat mengusahakannya dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin atau melepaskan baju yang tersiram air panas.
   Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam airatau menyiraminya dengan air selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama. oleh karena itu, merendam bagian yang terbakar selama lima belas menit pertama dalam air sangat bermanfaat untuk menurunkan suhu jaringan sehingga kerusakan lebih dangkal dan diperkecil. Dengan demikian, luka yang sebenarnya menuju derajat II dapat berhenti pada derajat I, atau luka yang akan menjadi tingkat III dihentikan pada tingkat II atau tingkat I. Pencelupan atau penyiraman dapat dilakukan dengan air apa saja yang dingin, tidak usah steril.
   Pada luka bakar ringan, prinsip penanganan utama adalah mendinginkan daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berproliiferas, dan menutup permukaan luka. Luka yang dirawat secara tertutup atau terbuka.
   Pada luka bakar yang berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar ringan, jikalau perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan nafas, diberikan capuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi udem laring, dipasang pipa endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi ruang mati, dan memudahkan pembersihan jalan nafas dari lendir atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO diberikan oksigen murni.
   Perawatan lokal adalah mengoleskan luka dengan antiseptik dan membiarkannya terbuka atau menutupnya dengan pembalut steril untuk perawatan tertutup. Kalau perlu penderita dimandikan dahulu. Selanjutnya diberikan pencegahan tetanus berupa ATS (Anti Tetanus Serum) dan atau toksoid. Analgesik diberikan bila penderita kesakitan.