Epidural Hematoma

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. Terdapat
60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1. Adapun tipe- tipenya, antara lain Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri, Subacute hematoma ( 31 % )
dan Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena.
Definisi
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.
Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom. Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. Sumber perdarahan terdiri dari Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam ), Sinus duramatis, Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica.
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.
Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak meliputi Penurunan kesadaran bisa sampai koma, Bingung, Penglihatan kabur, Susah bicara, Nyeri kepala yang hebat, Keluar cairan darah dari hidung atau telinga, Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala, Mual, Pusing, Berkeringat, Pucat, Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Gambaran Radiologi
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah dikenali. Foto Polos Kepala
pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
a. Computed Tomography (CT Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.


Diagnosis Banding
- Subdural Hematoma
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
- Subarchnoid Hematoma
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya.

Penatalaksanaan
# Penanganan Darurat
- Dekompresi dengan trepanasi sederhana
- Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom  
# Terapi Medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan meningkatkan drainase vena. Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
# Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
- Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 3 mm
# Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc = desak ruang supra tentorial
- > 10 cc = desak ruang infratentorial
- > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
- Penurunan Klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.  
- Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif

Prognosis
Prognosis tergantung pada :
- Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )    
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi


Sumber :
Snell, Richard. 2006. Neuro Anatomi Klinik Edisi-5. EGC. Jakarta
Harsono. 2008. Neurologi Klinis.UGM. Jakarta
Lumbantobing. 2010. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbitan FK UI. Jakarta
           
 

Anatomi dan Fisiologi Kepala

Anatomi Kepala

# Kulit Kepala
  

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. 
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum .

# Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural.Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater   

# Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

# Cairan Serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. 

# Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

# Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi.Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

Fisiologi Kepala   
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3).Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie (3).Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup (8). Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya (3,12). ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO.  

Menigitis

Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun. 
Definisi
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membrane atau selaput yang melapisi otak (brain) dan syaraf tunjang (spinal cord). Meningitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain, dan sedikit sekali yang sebabkan oleh obat-obatan.
 
Meningitis dapat mengancam jiwa karena kedekatan peradangan pada otak dan saraf tunjang (spinal cord) ini, sehingga kondisinya diklasifikasikan sebagai keadaan darurat medis.

Etiologi
Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau mikroorganisme. Kebanyakan kasus penyakit meningitis disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, jamur, dan parasit menjadi penyebab paling umum berikutnya. Penyakit Meningitis juga bisa dari berbagai penyebab non-infeksius, seperti karena obat-obatan misalnya atau bisa juga penyebaran kanker ke meninges (malignant meningitis).
Virus yang dapat menyebabkan meningitis termasuk enterovirus, herpes simplex virus tipe 2 (dan kurang umum tipe 1), varicella zoster virus (dikenal sebagai penyebab cacar air dan ruam saraf), virus gondok, HIV, dan LCMV.
Bakteri yang menyebabkan meningitis yaitu :
1. Streptococus pneumoniae (pneumococus)
2. Neisseria meningitidis (meningococcus)
3. Haemophilus influenzae (haemophilus)
4. Listeria monocytogenes (listeria) dll
# Klasifikasi
Meningitis di bagi menjadi 2 golongan berdasrkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis seerosa
Adalah adalah radang selaput otak araknoid dan piamater yang di sertai cairan otak yang jernih. Penyebab tersering adalah mycobacterium tuberculosa.
2. Meningitis purulenta
 Adalah radang bernanah araknoid dan piameter meliputi otok dan medulla spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok). Niesseria meningitis, (meningkok), streptococcus hemolyticus, staphylococcus aureus.  

Gejala Klinis 

Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia.
● Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.
● Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.
● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.
● Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
● Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis:
› Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
› Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di meningen.

Patofisiologi
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme: Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor)
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.

Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS fungsi lumbal
2. Glukosa serum
3. LDH serum
4. Sel darah putih
5. Elektrolit darah
6. LED
7. Kultur darah/hidung/tenggorokan/urine
8. MRI/CT scan
9. Ronsen dada/kepela/sinus

Penatalaksanaan
*Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan Enterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
Antibiotics
(dosage in
mg/kg/day)
Route
Of Administration
Body
weight
<2000>
Body
Weight
<2000>
Body
Weight
>2000 g
Body
Weight
>2000 g
Age 0-7
days
Age > 7
days
Age 0-7
days
Age > 7
days
Penicillins
Ampicillin
IV,IM
100 div
q12h
150 div
q8h
150 div
q8h
300 div
q6h
Penicillin-G
IV
100,000 U
div q12h
150,000 U
div q8h
150,000 U
div q8h
250,000 U
div q6h
Oxacillin
IV,IM
100 div
q12h
150 div
q8h
150 div
q8h
200 div
q6h
Ticarcillin
IV,IM
150 div
q12h
225 div
q8h
225 div
q8h
300 div
q6h
Cephalosporins
Cefotaxime
IV,IM
100 div
q12h
150 div
q8h
100 div
q12h
150 div
q8h
Ceftriaxone
IV,IM
50 once
daily
75 once
daily
50 once
daily
75 once
daily
Ceftazidime
IV,IM
100 div
q12h
150 div
q8h
100 div
q8h
150 div
q8h
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia
Anti
biotics
Route of
Admini
stration
Desired
Serum
Levels
(mcg/ml)
New
born
Age
≤26 weeks
(mg/kg/
dose)
New
born
Age
27-34 weeks
(mg/kg/
dose)
New
born
Age
35-42 weeks
(mg/kg/
dose)
New
born
Age
≥43 weeks
(mg/kg/
dose)
Aminoglycosides
Amikacin
IV,IM
20-30
(peak)
<10
(trough)
7.5 q24h
7.5 q18h
10 q12h
10 q8h
Gentamycin
IV,IM
5-10
(peak)
<2,5
(trough)
2.5 q24h
2.5 q18h
2.5 q12h
2.5 q8h
Tobramycin
IV,IM
5-10
(peak)
<2,5
(trough)
2.5 q24h
2.5 q12h
2.5 q12h
2.5 q8h
Glycopeptide
Vancomy
cin
IV,IM
20-40
(peak)
<10
(trough)
15 q24h
15 q18h
15 q12h
15 q8h
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) masih dalam penelitian.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan. Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan mual muntah berkurang.
Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau trovafloxacin.
Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP.
Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-kadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi ulang.
Antibiotics
Dose
(mg/kg/day)
Dosing
Interval
Maximum
Daily Dose
Ampicillin
400
q6h
10 g
Vancomycin
60
q6h
4 g
Penicillin G
250,000 U
q6h
24 million
Cefotaxime
200-300
q6h
12 g
Ceftriaxone
100
q12h
4 g
Chloramphenicol
100
q6h
4 g
Ceftazidime
150
q8h
6 g
Cefepime
100
q12h
4 g
Imipenem
60
q6h
4 g
Meropenem
120
q8h
6 g
Rifampin
20
q12h
600 mg
*Pemberian dexamethasone
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya dapat diulang bila diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.
Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.
Pencegahan
Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan melalui batuk, bersin, ciuman, sharing makan 1 sendok, pemakaian sikat gigi bersama dan merokok bergantian dalam satu batangnya. Maka bagi anda yang mengetahui rekan atau disekeliling ada yang mengalami meningitis jenis ini haruslah berhati-hati. Mancuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah ketoilet umum, memegang hewan peliharaan. Menjaga stamina (daya tahan) tubuh dengan makan bergizi dan berolahraga yang teratur adalah sangat baik menghindari berbagai macam penyakit.
Pemberian Imunisasi vaksin (vaccine) Meningitis merupakan tindakan yang tepat terutama didaerah yang diketahui rentan terkena wabah meningitis, adapun vaccine yang telah dikenal sebagai pencegahan terhadap meningitis diantaranya adalah :
- Haemophilus influenzae type b (Hib)
- Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7)
- Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV)
- Meningococcal conjugate vaccine (MCV4)