Anatomi dan Fisiologi Faring

Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. Faring terdiri atas:
 1. Nasofaring 
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantong Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius.
Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana. Kelainan kongenital koana salahsatunya adalah atresia choana.
Struktur Nasofaring :
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva

2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Nasopharingeal Carcinoma.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing da oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

2. Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.
a. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
b. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
c. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan

3. Laringofaring 
Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta fossa piriformis.
Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan untuk artikulasi.

Embriologi

Rongga mulut, faring dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Foregut ini berkembang menjadi rongga hidung, gigi dan kelenjar liur,hipofisi anterior ,tiroid dan laring, trakea , bronkus dan alveoli paru.
Mulut terbentuk dari stemodium primitive yang merupakan gabungan dari ektodermal dan endodermal , yang membelah. Bibir bagian atas dibentuk oleh bagian prosesus nasalis medial dan lateral dan prosessus maksilaris. Celah bibir biasanya tidak terletak digaris tengah tetapi dilateral dari prosesus  nasalis medial yang membentuk premaksila. Bibir bagian bawah berkembang dari bagian prosesus mandibularis.otot bibir berasal dari daerah brankialkedua dan dipersarafin oleh saraf fasialis.

Dibelakang mukosa dinding blakang faring terdapat dasar tulang sphenoid dan dasar tulang oksiput disebelah atas, kemudian bagian depan tulang atlas dan sumbu badan dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan kehidungmelalui koana posterior. Superior , adeoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosaronsenmuler. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringitis superior. Otot tensor veli palatine, merupakan otot yang menengangkan palatum dan membuka tubaeustaki, masuk kefaring melalui ruang ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatine dipersarafi oleh saraf mendibularis melalui ganglion optic.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglotus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.
Otot – otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.

Faringitis

Tenggorokan dianggap sebagai pintu masuk organisme yang menyebabkan berbagai penyakit, dan pada beberapa kasus organisme masuk ke dalam tubuh melalui pintu gerbang ini tanpa menyebabkan gejala-gejala local yang menarik perhatian. Penyakit-penyakit orofaring dapat dibagi menjadi beberapa yang menyebabkan sakit tenggorokan akut dan penyakit yang berhubungan dengan sakit tenggorokan kronis.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi local. Infeksi bakteri grup A Streptokokus β hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerolunefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya komplek antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui secret hidung dan ludah.

Anatomi dan Fisiologi Faring 

Definisi 
Faringitis (pharyngitis) Akut, adalah suatu penyakit peradangan tenggorok (faring) yang sifatnya akut (mendadak dan cepat memberat). Umum disebut radang tenggorok. Radang ini menyerang lapisan mukosa (selaput lendir) dan submukosa faring.
Disebut faringitis kronis bila radangnya sudah berlangsung dalam waktu lama dan biasanya tidak disertai gejala yang berat.

Etiologi
- Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau kuman. 
- Biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A. Namun bakteri lain seperti N. gonorrhoeae, C. diphtheria, H. influenza juga dapat menyebabkan faringitis.
- Apabila disebabkan oleh infeksi virus biasanya oleh Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza virus dan Coxsackie virus.
- Faringitis juga bisa timbul akibat iritasi udara kering, merokok, alergi, trauma tenggorok (misalnya akibat tindakan intubasi), penyakit refluks asam lambung, jamur, menelan racun, tumor.

Manifestasi Klinis
Pada awitan penyakit, penderita mengeluh rasa kering dan gatal pada tenggorokan. Malaise dan sakit kepala adalah keluhan yang biasa. Biasanya terdapat suhu yang sedikit meningkat. Eksudat pada faring menebal. Eksudat ini sulit dikeluarkan, dengan suara parauusaha mengeluarkan dahak dari kerongkongan dan batuk. Keparauan terjadi jika proses peradangan mengenai laring. Pada beberapa kasus, mungkin terdapat nyeri alih ke telinga, adenopati servikal, dan nyeri tekan. Dinding faring kemerahan dan menjadi kering, gambaran seperti kaca dan dilapisis oleh sekresi mukus. Jaringan limfoid biasanya tampak merah dan membengkak.

Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear6. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.

Pemeriksaan Penunjang 
- Apusan tenggorok
- Skrining terhadap bakteri streptokokus
- Darah rutin menunjukkan peningkatan jumlah lekosit.
- Kultur dan uji resistensi bakteri bila diperlukan.

Jenis Faringitis
Faringitis Virus
Faringitis Bakteri
Biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan Sering ditemukan nanah di tenggorokan
Demam, biasanya tinggi. Demam.
Jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat Jumlah sel darah putih meningkat ringan sampai sedang
Kelenjar getah bening normal atau sedikit membesar Pembengkakan ringan sampai sedang pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan memberikan hasil negatif Tes apus tenggorokan memberikan hasil positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteri Bakteri tumbuh pada biakan di laboratorium

 Penatalaksanaan
 Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus. Antibiotika dicadangkan untuk komplikasi ini.
Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral (200.000-250.000 unit penisilin G,3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin.
Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti ibuprofen atau asetaminofen.
Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama.
Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat menularkan selama beberapa hari.



PNEUMOTORAKS

Rongga toraks merupakan suatu rongga yang diisi oleh berbagai organ tubuh yang sangat vital, diantaranya : jantung, paru, pembuluh darah besar. Rongga toraks dibentuk oleh suatu kerangka dada berbentuk cungkup yang tersusun dari tulang otot yang kokoh dan kuat, namun dengan konstruksi yang lentur dan dengan dasar suatu lembar jaringan ikat yang sangat kuat yang disebut Diaphragma. Konstruksi kerangka dada tersebut diatas sangat menunjang fleksibelitas fungsinya, diantaranya: fungsi perlindungan terhadap trauma dan fungsi pernafasan. 
Hanya trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan yang cukup besar saja yang mampu menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang vital tersebut diatas. 
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam cavum/rongga pleura. Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 sampai dengan 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 sampai dengan 4 cm H2O. Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga pleura, Sehingga paru akan kolaps. Paling sering terjadi spontan tanpa ada riwayat trauma dapat pula sebagai akibat trauma toraks dan karena berbagai prosedur diagnostik maupun terapeutik.  
Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai pneumotoraks artifisial. Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata juga mempunyai peranan dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain prosedur diagnostik seperti biopsi pleura, TTB, TBLB dan juga beberapa tindakan terapeutik seperti misalnya fungsi pleura, ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat pula menjadi sebab teradinya pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik).
Definisi 
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga thoraks.

Masuknya udara ke dalam rongga pleura dibedakan atas:
1. Pneumotoraks spontan: Timbul sobekan subpleura dari bulla sehingga udara dalam rongga pleura melalui suatu lubang robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan sering menjadi keadaan yang kronis. Penyebab lain ialah suatu trauma tertutup terhadap dinding dan fistula bronkopleural akibat neoplasma atau inflamasi.
2. Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk atau pneumotoraks disengaja (artificial) dengan terapi dalam hal pengeluaran atau pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan lagi. Tujuan pneumotoraks sengaja lainnya ialah diagnostik untuk membedakan massa apakah berasal dari pleura atau jaringan paru. Penyebab-penyebab lain ialah akibat tindakan biopsi paru dan pengeluaran cairan rongga pleura.
3. Masuknya udara melalui mediastinum yang biasanya disebabkan trauma pada trakea atau esophagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat (endoskopi) atau benda asing tajam yang tertelan. Keganasan dalam mediastinum dapat pula mengakibatkan udara dalam rongga pleura melalui fistula antara saluran nafas proksimal dengan rongga pleura.  
4. Udara berasal dari subdiafragma dengan robekan lambung akibat suatu trauma atau abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.  

ETIOLOGI 
  Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12 mmHg. Fungsinya membantu pengembangan paru selama ventilasi. Pada waktu inspirasi tekanan intra pleura lebih negatif daripada tekanan intra bronchial, maka paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan masuk bronchus sampai ke alveoli. Pada waktu ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun di bronchus sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus. Tekanan intra bronchial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk,bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah maka akan pecah atau terobek..
Pneumotoraks terjadi disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronchus. Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non spesifik atau granulomatous fibrosis adalah salah satu sebab yang sering terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi emfisema. Penyebab tersering adalah valve mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan parut. Secara singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut pendapat “MACKLIN“ adalah sebagai berikut :
Alveoli disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan tekanan didalam alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronchial merupakan fakltor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di peribronchovaskuler kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks atau pneumomediastinum.

MANIFESTASI KLINIS
Adanya keluhan-keluhan dan gejala-gejala klinis pneumotoraks amat tergantung pada besarnya lesi pneumotoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa pasien menunjukkan keadaan asimtomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan pada pemeriksaan foto dada rutin. Pada beberapa kasus, pneumotoraks terluput dari pengamatan.
Keluhan : timbulnya mendadak, biasanya setelah mengangkat barang berat, habis batuk keras, kencing yang mengejan, penderita menjadi sesak yang makin lama makin berat. Keluhan utama : sesak, napas berat, bias disertai batuk-batuk. Nyeri dada dirasakan pada sisi sakit, terasanya berat (kemeng), terasa tertekan, terasa lebih nyeri pada gerakan respirasi. Sesak ringsn sampai berat, napas tertinggal, senggal pendek-pendek. Tanpa atau dengan cyanosis. Tampak sakit ringan sampai berat, lemah sampai shock, berkeringat dingin.
 Berat ringannya keadaan penderita tergantung dari keadaan pneumotoraksnya : 
Tertutup dan terbuka biasanya tidak berat, ventil ringan tekanan positif tinggi biasanya berat dan selain itu tergantung juga keadaan paru yang lain dan ada atau tidaknya obstruksi jalan napas.
Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit yang tiba-tiba dan bersifat unilateral serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan pada 80-90% kasus. Gejala-gejala ini lebih mudah ditemukan bila penderita melakukan aktivitas berat. Tetapi pada sebagian kasus, gejala-gejala masih gampang ditemukan pada aktivitas biasa atau waktu istirahat.
Rasa sakit tidak selalu timbul. Rasa sakit ini bisa menghebat atau menetap bila terjadi perlengketan antara pleura viseralis dan pleura parietalis. Suatu waktu perlengketan ini bisa sobek pada tekanan kuat dari pneumotoraks, sehingga terjadi perdarahan intrapleura (hemato- pneumotoraks).
Kadang-kadang gejala klinis dapat ditemukan walaupun kelainan pneumotoraksnya sedikit, misalnya perkusi yang hipersonar, fremitus yang melemah sampai menghilang, suara nafas yang melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumotoraks, trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke bawah, gerakan pernafasan tertinggal pada sisi yang sakit. Fungsi respirasi menurun, terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun.
Kebanyakan pneumotoraks terjadi pada sisi kanan (53%), sedangkan sisi kiri (45%) dan bilateral hanya 2%. Hampir 25% dari pneumotoraks spontan berkembang menjadi hidropneumotoraks.
Disamping keluhan-keluhan dan gejala-gejala klinis tersebut di atas, diagnosis lebih meyakinkan lagi dengan pemeriksaan sinar tembus dada.

PATOFISIOLOGI
Trauma terhadap thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul.
Pada trauma tajam, terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis. Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediastinum.
Trauma tajam yang menembus pleura parietalis akan menyebabkan kolaps paru, akibat masuknya udara atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralispun tertembus, kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar, sehingga selain terjadi penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho-udara luar melalui luka tajam, mungkin terjadi pula Hemoptoe massif dengan akibat-akibatnya.
Trauma tajam yang melukai perikardium parietalis dapat menimbulkan tamponade jantung dengan tertimbunya darah dalam rongga pericardium, yang akan mampu meredam aktivitas Diastolik jantung. Eksanguinasi akibat tembusnya dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediasternum, mampu menimbulkan henti jantung dalam waktu 2 – 5 menit, tergantung derajat perdarahannya.
Satu jenis lain dari trauma tajam, yaitu trauma tertembus peluru. Fatalitas akibat trauma peluru ini lebih besar dari jenis trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan jaringan yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi dari pleura, berakibat luka tembus keluar yang relatif lebih besar dari luka tembus masuk.
Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tidak cukup besar, hanya akan menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan pembentukan hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang iga, mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi fraktur pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.
Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan kemudi atau setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan sangat tinggi yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan rongga pericardium ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam gerakan sistolik dan diastolik.
Dorongan atau pukulan tumpul terhadap dinding kerangka dada yang demikian kuatnya, sehingga melebihi kekuatan kelenturan iga, dapat menimbulkan fraktur iga dan ujung fragmen fraktur dapat merusak pleura parietalis ataupun bahkan pleura viseralis dan jaringan paru. Setelah trauma hilang, fragmen iga yang fraktur tersebut akan kembali kepada kedudukan semula akibat kelenturannya, dan akibat kelengkungan bentuk iga yang menggembung kearah keluar kerangka, serta pengikatan antar iga oleh otot inter-oseus/otot intekostalis.
Keadaan tersebut diatas, meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari iga dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau pneumotoraks, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi “Tension Pneumotorax”, karena terjadi keadaan dimana alveoli terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka pleura parietalis yang menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga pleura. Tension pneumotoraks selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi penurunan ventilasi antara 15 – 20 %.
Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran mediastinum kearah kontralateral dan selanjutnya bahkan akan mendesak paru kontralateral yang berakibat sangat menurunnya kapasitas ventilasi.
Kerusakan jaringan paru dengan terbukannya alveoli, memungkinkan terjadinya emfisem subkutis, akibat penyebaran udara yang keluar dari alveoli dan menyusup masuk kedalam jaringan interstisial paru menuju mediastinum, dan selanjutnya menyebar melalui media subkutis. Emfisema subkutis ini dapat menyebar secara umum keseluruh permukaan tubuh dan sangat kentara dengan “Penggelembungan” skrotum atau labiya mayora.