Pneumonia

Pneumonia adalah proses radang pada parenkim paru, bagian distal bronkiolus terminalis, mencakup bronkiolus respiratorius, alveolus dan interstitium serta menimbulkan konsolidasi dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan histologist menunjukkan gambaran pneumonitis atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat oleh berbagai macam penyebab (mikroorganisme dan non mikroorganisme) dan berlangsung dalam jangka panjang waktu bervariasi. 
Definisi umumnya sebagai inflamasi/peradangan pada parenkim paru, yang dicirikan oleh konsolidasi bagian-bagian yang terkena dan terisinya rongga alveolus oleh eksudat, sel-sel radang dan fibrin. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan dapat juga disebabkan oleh inhalasi bahan kimia, trauma pada dinding dada atau agen-agen infeksius lainnya seperti riketsia, fungi, dan kapang. Istilah pneumonia lazim dipakai apabila proses radang tadi disebabkan oleh infeksi akut (mikroorganisme), sedangkan pneumonitis dipakai apabila proses radang disebabkan oleh non mikroorganisme (proses noninfeksi) meskipun tidak selalu demikian. Pada proses infeksi akut, bila infeksinya teratasi akan terjadi resolusi dan struktur paru normal kembali. Namun pada pneumonia nekrotikans yang disebabkan antara lain oleh staphylococcus atau kuman gram negative terbentuk jaringan parut atau fibrosis. 
Dalam keadaan normal selalu ada bentuk pertahanan pejamu di saluran napas, seperti rambut hidung, perangkat mukosilia, sekresi immunoglobulin, air liur, pengelupasan sel epitel, batuk, refleks epiglottis dan lain-lain. Namun terdapat juga faktor yang cenderung memudahkan terjadinya infeksi paru seperti permukaan epitel paru yang terus menerus terpajan udara yang tercemar, flora nasofaring yang terus menerus diaspirasi selagi tidur hingga penyakit-penyakit paru yang menyebabkan parenkim paru rentan terhadap organisme virulen. Defek immunitas bawaan dan seluler, immunodefisiensi humoral serta faktor gaya hidup eksogen seperti merokok dan alcoholic dapat meningkatkan risiko terjadinya pneumonia. 
Pada perkembangannya pengelolaan pneumonia telah dikelompokkan pneumonia yang terjadi di rumah sakit-Pneumonia Nosokomial (PN) kepada kelompok pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) dan yang diperoleh di pusat perawatan kesehatan (PPK).
Definisi
Pneumonia merupakan peradangan dari paru-paru, terutama pada alveolus (organ di dalam paru-paru yang berfungsi untuk memindahkan oksigen ke dalam sel darah). Pada keadaan radang, terjadi penumpukan cairan oleh karena proses radang itu sendiri yang menyebabkan terganggunya perpindahan oksigen ini, selain itu juga di produksinya banyak cairan di dalam rongga alveoli. Penderita akan mengeluh sulit untuk bernafas (sesak) sehingga penderita akan bernafas dangkal dan cepat. Keluhan lain berupa demam (akibat proses peradangan) dan batuk (akibat produksi cairan (sekret) yang berlebihan). 
Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer: 1). aspirasi secret yang berisi mikroorganisme pathogen yang telah berkolonisasi pada orofaring 2). inhalasi aerosol yang infeksius, dan 3). penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara paling sering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan system pernafasan.
Fisiologi Pertahanan Paru
Paru-paru merupakan organ utama dalam sistem respirasi, paru kanan memiliki tiga lobus sedangkan paru kiri dua lobus. Keduanya dipisahkan oleh mediastinum yang menutupi jantung, trachea, esophagus, dan beberapa kelenjar limfe. Paru terbungkus oleh membran pelindung yang disebut pleura yang dipisahkan dengan rongga perut oleh diafragma. Pada setiap pernapasan, udara masuk melalui trakhea dan terus ke bronchus kemudian mengisi ribuan alveoli pada ujung bronchus, yang dikelilingi oleh kapiler darah. Oksigen menembus membran alveoli menuju ke aliran darah. Sel darah merah mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan dan selanjutnya mengangkut karbondioksida kembali ke paru dan dilepaskan ke alveoli, bronchus dan keluar melalui trakhea.
Seluruh saluran nafas, dari hidung sampai bronkiolus terminalis, dipertahankan agar tetap lembab oleh lapisan mucus yang melapisi seluruh permukaan. Mucus ini disekresikan sebagian oleh sel goblet mukosa dalam lapisan epitel saluran nafas, dan sebagian lagi oleh kelenjar submukosa yang kecil. Selain itu untuk mempertahankan kelembaban permukaan, mucus juga menangkap partikel-partikel kecil dari udara saat inspirasi dan menahannya agar tidak sampai ke alveoli. Mucus itu sendiri dikeluarkan dari saluran nafas dengan cara sebagai berikut,
Seluruh permukaan saluran nafas, baik dalam hidung maupun dalam saluran nafas bagian bawah sampai sejauh bronkiolus terminalis, dilapisi oleh epitel bersilia dengan kira-kira 200 silia pada setiap sel eitel. Silia ini terus menerus “memukul” dengan kecepatan 10-20 kali per detik, dan arah “kekuatan memukulnya” selalu mengarah ke faring. Dengan demikian, silia dalam paru memukul ke arah atas, sedangkan silia dalam hidung memukul ke arah bawah. Pukulan yang terus menerus ini meyebabkan selubung mucus ini mengalir dengan lambat, pada kecepatan beberapa millimeter per menit, ke arah faring. Kemudian mucus dan partikel-partikel yang dijeratnya ditelan atau dibatukkan keluar.

Epidemiologi
Pneumonia sebenarnya bukan peyakit baru. Tahun 1936 pneumonia menjadi penyebab kematian nomor satu di Amerika. Penggunaan antibiotik, membuat penyakit ini bisa dikontrol beberapa tahun kemudian. Namun tahun 2000, kombinasi pneumonia dan influenza kembali merajalela. 
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan TBC. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Kasus pneumonia ditemukan paling banyak menyerang anak balita. Menurut laporan WHO, sekitar 800.000 hingga 1 juta anak meninggal dunia tiap tahun akibat pneumonia. Bahkan UNICEF dan WHO menyebutkan pneumonia sebagai penyebab kematian anak balita tertinggi, melebihi penyakit-penyakit lain seperti campak, malaria, serta AIDS. 


Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Streptococcus pneumonia, Hemophylus influenza, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa.
1.      Streptococcus pneumonia 
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai polisakarida yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik. Organisme ini adalah penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. 
Pneumokokus menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan melindungi terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan polisakarida tipe spesifik, serum tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. 
2.      Hemophylus influenza 
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian atas pada manusia dan tidak menghasilkan eksotoksik. Bentuk Hemophylus influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil, meningitis. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis septik.

Faktor Resiko
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh  
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis  
2. Faktor eksogen adalah :  
a. Pembedahan :  
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik :  
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.  
c. Peralatan terapi pernapasan  
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.  
d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.  
e. Lingkungan rumah sakit  
• Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur 
• Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll  
• Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi

Manifestasi Klinis
Secara tradisional bentuk pneumonia ini diperkirakan terdapat sebagian dua sindrom yang berbeda, yaitu dengan gambaran tipikal dan atipikal. Sindroma yang tipikal ditandai oleh awitan febris yang mendadak, batuk produktif dengan sputum yang purulen dan kemungkinan nyeri dada pleuretik; tanda konsolidasi paru (pekak pada perkusi, peningkatan fremitus, esofonia, suara nafas bronkhial dan ronkhi). Sindroma pneumonia atipikal ditandai oleh awitan yang lebih bertahap, batuk kering, penonjolan gejala ekstra pulmonalis (seperti: nyeri kepala, mialgia, keletihan, sakit leher, mual muntah serta diare).

Patofisiologi 
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia.  Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan.  

Diagnosis
  Diagnosis didasarkan pada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan penunjang. 
Anamnesis 
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunanan kesadaran, kejang atau kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.
Pemeriksaan Fisik 
Tanda yang mungkin ada adalah suhu 390C, dispnea : inspiratory effort ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena dan meningkat pada daerah yang sehat pada pemeriksaan palpasi, perkusi normal atau redup sampai pekak, pada daerah paru normal tepat diatas area konsolidasi, sering terdengar suara perkusi timpani. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang terkena, pada pemeriksaan inspeksi, dada daerah yang terkena terlihat lebih mencembung, penderita tampak kesakitan pada daerah yang terkena, sehingga mempengaruhi posisi tidur.
Pemeriksaan Penunjang 
- Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri. 
- Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas. 
- Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil yang positif tetapi dapat membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap penanganan awal. 
- Pada foto thorak terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis biasanya sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada keadaan klinisnya.Gambaran lain yang dapat dijumpai : 
o    Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris 
o    Penebalan pleura pada pleuritis 
o Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel.
Ditegakkan berdasar atas  
Foto toraks tampak terdapat infiltrat baru atau progresif, ditambah 2 diantara kriteria berikut: suhu tubuh > 38oC, sekret purulen, leukositosis  
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :  
1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi.  
2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit  
3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal. 

Penatalaksanaan
Terapi pneumonia dilandaskan pada dignosis berupa antibiotik untuk mengeradikasi mikroorganisme yang diduga sebagai kausalnya. Dalam pemakaian antibiotik harus dipakai pola berpikir panca tepat yaitu diagnosis tepat, pilihan antibiotik yang tepat dan dosis yang tepat, dalam jangka waktu yang tepat dan pengertian patogennesis secara tepat. Berdasarkan diagnosis empirik kuman penyebab antibiotik yang dapat dipakai adalah seperti yang ditabel berikut: 
- Ciprofloxacin: dosis, pemberian IV paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 12 jam 200-400 mg/hari. Pemberian po dibagi dalam pemberian setiap 12 jam 1000 mg/hari. Volume distibusi: 2,5 1/kg, didalam LCS mencapai 15% dari konsentrasi plasma.  Waktu paruh serum berkisar antara 3 jam, bioavailabilitas oral 70%, konsentrasi serum puncak 2,4 ug/ml. Efek samping dari ciprofloxacin ialah: mual, muntah, sakit perut, dan diare. Kadang-kadang timbul sakit kepala, pusing, insomnia, ruam kulit, gatal-gatal dan demam. 
- Clindamycin: dosis, pemberian IV paling baik sebagai infus dibagi dalam pemberian secara individual setiap 6-12 jam, dewasa 0,6-2,4 g/hari, anak-anak 15-40 mg/kg/hari. Sekitar 90% obat ini terikat protein. Ekskresi terutama dilakukan melalui hati, empedu, dan urin. Clindamycin sebesar 0,5-5 mg/ml dapat menghambat streptokokkus, stafilokokkus, dan pneumokokkus. Namun, enterokokkus dan organismeorganisme aerob gram negatif resisten terhadap clindamycin (sangat kontras dengan kerentanan mereka terjadap erytromycin). Resistensi terhadap clindamycin mengakibatkan resistensi silang dengan makrolide lain, disebabkan oleh: (1) mutasi situs reseptor ribosom; (2) modifikasi oleh suatu methilase yang tampak jelas; dan (3) inaktivasi clindamycin secara enzimatis. Efek samping dari clindamycin ialah: diare, mual, dan ruam kulit. Kadang-kadang terjadi juga kerusakan fungsi hati (dengan atau tanpa ikterus) dan neutropenia. Diperkirakan sekitar 0,01-10% pasien dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam, nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. 
- Oxacillin: dosis pemberian (iv) paling baik sebagsi infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam, orang dewasa 2-6 g/hari (sampai 12 hari), dosis untuk anak-anak 20 mg/hari. Waktu paruh plasma 0,5 jam. Efek samping dari oxacillin ialah: sakit dan thrombophlebitis pada tempat injeksi, mual, muntah, pada kasus berat colitis pseudomembranosa, iritasi neuromuskuler, pada pasien gagal ginjal dapat mengakibatkan hepatitis. 
- Penicillin: Untuk penisillin G, dosis pemberian (iv) untuk orang dewasa 1-4 mu/ 4-6 jam, dosis untuk anak-anak 25.000-400.000 unit/kg/hari dalam 4-6 dosis, sedangkan untuk penisillin V, dosis pemberian po untuk orang dewasa 0,25-0,5 g, dosis untuk anak-anak 25-50 mg/kg/hari dalam 4 dosis. Ekskresi melalui proses ditubuli ginjal yang dapat dihambat oleh probenesid. Waktu paruh eliminasi penisilin darah diperpanjang oleh probenesid, beberapa obat lain juga meningkatkan masa paruh eliminasi penisilin darah, antara lain fenilbutazon, sulfinpirazon, asetasol, dan indometasin. Resitensi penicillin dan agen-agen betalaktam lainnya disebabkan oleh satu dari 4 mekanisme umum: (1) inaktivasi antibiotik oleh beta-laktamase; (2) modifikasi PBPs target; (3) kerusakan penetrasi obat ke dalam PBPs target; dan (4) adanya suatu pompa aliran keluar. Efek samping dari penicillin ialah: semua preparat yang mengandung penicillin, termasuk makanan atau kosmetik, dapat menginduksi sensitisasi. Reaksi-reaksi alergi meliputi; reaksi-reaksi serum sickness (sekarang jarang terjadi-urtikaria, demam, pembengkakan persendian, edema angioneurosis, pruritus berat, dan kesukaran bernafas yang timbul 7-12 hari setelah pemaparan), serta beragam ruam kulit. Selain itu, dapat juga timbul lesi oral, demam, nefritis interstisial (reaksi autoimunterhadap suatu komplek penicillin-protein), eosinofilia, anemia hemolitik, dan gangguan-gangguan vaskulitis- Amoxicillin: dosis (po) untuk orang dewasa 0,25-0,5 g/qid, dosis untuk anak-anak 20-40mg/kg/hari dalam 3 dosis. 









GGK (Gagal Ginjal Kronis)

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah ( dan lingkungan dalam tubuh ) dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal oleh karena suatu hal gagal dalam menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air akan diekskresikan keluar tubuh dalam urine melalui sistem pengumpul urine. Jika ada kelainan pada ginjal baik yang disebabkan oleh infeksi, reaksi autoimun maupun idiopatik. 
Gejala klinis pada kelainan ginjal berupa bengkak hampir diseluruh tubuh yang sering disebut edema. Terjadinya edema dikarenakan oleh retensi garam dan air yang disebabkan oleh berkurangnya nephron pada ginjal yang berfungsi sebagai tempat filtrasi. Selain edema jika terjadi kerusakan ginjal lebih lanjut maka akan menimbulkan gejala klinis yang lebih berat seperti proteinuria, hipertensi, hipoalbuminemia, anemia dan masih banyak lainnya jika sudah terjadi komplikasi. 
Beberapa penyakit ginjal yang efeknya edema adalah : glomerulonefritis, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal. Sindrom nefrotik dan gagal ginjal merupakan komplikasi dari glumerulonefritis.
Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Selanjutnya Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Epidemiologi
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.

Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangatlah bervariasi di antara satu negara dan negara lainnya. Diabetes dan Nefropati hipertensi merupakan penyebab utama dari penyakit ginjal kronik maupun gagal ginjal kronik. Hipertensi adalah penyebab yang umum dan merupakan akibat pada awal penyakit ginjal kronik. 
Tabel Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat tahun 1995-1999  
Penyebab Insiden 
DiabetesMellitus                                                                                             44% 
- Tipe 1                                                                                                            7% 
- Tipe 2                                                                                                            37% 
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar                                              27% 
Glomerulonefritis                                                                                            10% 
Nefritis Interstisialis                                                                                        4% 
Kista dan Penyakit bawaan lain                                                                      3% 
Penyakit sistemik mis: lupus dan Vaskulitis                                                   2% 
Neoplasma                                                                                                      2% 
Tidak diketahui                                                                                               4% 
Lain-lain                                                                                                          4% 
Tabel. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia  
tahun 2000  
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39% 
Diabetes Mellitus                                                                                           18,65% 
Obstruksi dan Infeksi                                                                                     12,85% 
Hipertensi                                                                                                      8,46% 
Sebab lain                                                                                                     13,65%
Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vaso aktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis Renin Angiotensin Aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut. Aktivasi jangka panjang Aksis Renin Angiotensin Aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor ß atau TGF-ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.  
Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na dan K. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.



Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan diagnostik etiolog. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik.  
Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu: 
LFG(ml/mnt/1.73m2) = 1,86 x ( P cr)-1,154 x (umur)-0,023 
Keterangan : pada wanita x 0,742, pada orang Afica di American x 1,21 
Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut : 
Creatinin Clearance Test (ml/mnt) =  
(140-umur) x BB 
————————————— 
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
Catatan : pada wanita x 0,85 
Pada LFG < 15 ml/mnt/1,73 m2, terapi pengganti ginjal merupakan indikasi apabila terjadi uremia. Pada derajat 3 dan 4 (LFG kurang dari 60 ml/menit/ 1,73 m2) , komplikasi dari penyakit ginjal kronik menjadi lebih progresif. Seluruh sistem organ terganggu tetapi implikasi yang paling sering adalah anemia dan kehilangan energi , penurunan nafsu makan dan gangguan status nutrisi, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor yang disertai penyakit tulan metabolik, dan kelainan natrium, air, kalium, dan keseimbangan asam basa. Ketika LFG turun menjadi kurang dari 15 ml/ menit/ 1,73 m2, pasien biasanya mengalami gangguan yang berat padat aktivitas kehidupan hari-harinya, pada kesehatannya status nutrisi, homeostasis air dan elektrolik, sampai pada akhirnya mengalami derajat uremia dimana tanpa terapi pengganti ginjal tidak bisa bertahan. 
Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini. 
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:  
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya  
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid  
Kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 
3. Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik  
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebih lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. 
• Pembatasan asupan protein 
Tujuan utama pembatasan asupan protein, selain untuk memperbaiki komplikasi uremia, adalah untuk memperlambat kerusakan nefron. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari, yang 0.30-0.50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalm tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan megakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Denagn demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik maslah penting lain adalah asupan protein berlebih ( protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hiperfiltation), yang akan meningkatkan progresivitass pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga beerkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosafat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.  
• Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria 
Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurasi hipertensi glomerulus ialah dengan pengggunaan antihipertensi, yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan ginjal, dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik meningkat. Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria, berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai syudi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
1.      Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovakuler 
Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi. 
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.