Atrial Septal Defect (Ilmu Penyakit Anak)

Jantung terdiri dari 4 ruangan. Atrium kiri dan kanan dibagian atas. Ventrikel kiri dan kanan terletak dibagian bawah. Ventrikel kiri merupakan rauang yang terbesar.katup jantung dapat membuka dan menutup sedemikian rupa sehingga darah hanya dapat mengalir dalam satu arah. 4 katup tersebut yaitu :Katup tricuspid,katup pulmonal, katupmitral dan katup aorta. 
Penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak. Insidensi penyakit jantung kongenital terkisar antara 6-8 per 1000 kelahiran.ASD merupakan kelainan jantung bawaan yang banyak ditemukan pada saat remaja atau setelah dewasa. Sekitar 1% dari bayi lahir menderita kelainan jantung bawaan. Sebagian bayi lahir tanpa gejala dan gejala baru tampak pada masa kanak-kanak. Sebagian lagi tanpa gejala samasekali. Sebagian lagi gejala langsung terlihat begitu bayi lahir dan memerlukan tindakan segera.
DEFINISI
 
Atrial Septal Defect adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan atrium kanan dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembedahan jantung terbuka adalah defek sekat atrium. Defek sekat atrium adalah hubungan langsung antara serambi jantung kanan dan kiri melalui sekatnya karena kegagalan pembentukan sekat. Defek ini dapat berupa defek sinus venousus di dekat muara vena kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya menutup spontan setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan pembentukan septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan septum primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan endokard. Macam-macam defek sekat ini harus ditutup dengan tindakan bedah sebelum terjadinya pembalikan aliran darah melalui pintasan ini dari kanan ke kiri sebagai tanda timbulnya sindrome Eisenmenger. Bila sudah terjadi pembalikan aliran darah, maka pembedahan dikontraindikasikan. Tindakan bedah berupa penutupan dengan menjahit langsung dengan jahitan jelujur atau dengan menambal defek dengan sepotong dakron.
Tiga macam variasi yang terdapat pada ASD, yaitu
1. Ostium Primum (ASD 1), letak lubang di bagian bawah septum, mungkin disertai kelainan katup mitral.
2. Ostium Secundum (ASD 2), letak lubang di tengah septum.
3. Sinus Venosus Defek, lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan.

EMBRIOLOGI
            Pemisahan atrium kanan dan atrium kiri kira-kira terjadi pada minggu ke enam kehamilan. Akan terbentuk septum primum dan septum sekundum. Bila kegagalan terjadi  pada pertumbuhan septum primum maka akan terjadi defek septum atrium primum (dinamakan dengan ASD I) dan bila kegagalan terjadi pada pertumbuhan septum sekundum akan terjadi defek septum atrium sekundum (ASD II). Defek sinus venosus biasanya terletak pada muara vena kava superior. Defek ini hampir selalu disertai dengan tidak normalnya ven pulmonalis dekstra.
            Defek sinus koronarius terletak pada muara dari sinus koronarius yang akan menyebabkan terjadinya hubungan antara dinding atrium dimana pada keadaan normal seharusnya terpisah antara sinus koronarius dengan atrium kiri. Tipe ini biasanya disertai dengan adanya aliran pada bagian kiri vena kava superior ke bagian atap atrium kiri. Menentukan tipe kelainan ASD ini sangat penting, karena berkaitan dengan teknik operasi yang akan digunakan untuk memperbaiki kelainan ini.
ETIOLOGI
ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan.
Dalam keadaan normal, pada peredaran darah janin terdapat suatu lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah tidak perlu melewati paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini biasanya menutup. Jika lubang ini tetap terbuka, darah terus mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan (shunt), Penyebab dari tidak menutupnya lubang pada septum atrium ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD, Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Faktor Prenatal
            a. Ibu menderita infeksi Rubella
            b. Ibu alkoholisme
            c. Umur ibu lebih dari 40 tahun
            d. Ibu menderita IDDM
            e. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
2. Faktor genetik
            a. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
            b. Ayah atau ibu menderita PJB
            c. Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
            d. Lahir dengan kelainan bawaan lain
3.Gangguan hemodinamik
            Tekanan di Atrium kiri lebih tinggi daripada tekanan di Atrium Kanan sehingga memungkinkan aliran darah dari Atrium Kiri ke Atrium Kanan.

MANIFESTASI KLINIS
Penderita ASD sebagian besar menunjukkan gejala klinis sebagai berikut
a. Detak jantung berdebar-debar (palpitasi)
b. Tidak memiliki nafsu makan yang baik
c. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
d. Berat badan yang sulit bertambah
     Gejala lain yang menyertai keadaan ini adalah :
a.Sianosis pada kulit di sekitar mulut atau bibir dan lidah
b. Cepat lelah dan berkurangnya tingkat aktivitas
c. Demam yang tak dapat dijelaskan penyebabnya  
d. Respon tehadap nyeri atau rasa sakit yang meningkat
Mild dyspneu pada saat bekerja (dispneu d’effort) dan atau kelelahan ringan adalah gejala awal yang paling sering ditemui pada hubungan antar atrium. Pada bayi yang kurang dari 1 tahun jarang sekali memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung kongestif yang mengarah pada defek atrium yang tersembunyi. Gejala menjadi semakin bertambah dalam waktu 4 sampai 5 dekade. Pada beberapa pasien yang dengan ASD yang lebar, mungkin dalam 10 atau 7 dekade sebelumnya telah memperlihatkan gejala dispneu d’effort, kelelahan ringan atau gagal jantung kongestif yang nyata.(2)
Pada penderita ASD terdapat suara splitting yang menetap pada S2. Tanda ini adalah khas pada patologis pada ASD dimana pada defek jantung yang tipe lain tidak menyebabkan suara splitting pada S2 yang menetap.
PATOFISIOLOGI 

DIAGNOSA
Seseorang yang menderita fraktur  dan mengalami nyeri tulang atau pembengkakan, biasanya akan menjalani pemeriksaan untuk tumor tulang metastatik. Foto rontgen dan skening tulang dengan zat radioaktif bisa membantu menentukan lokasi dari tumor.
Jika gejala tulang lebih dulu timbul sebelum induk kankernya diketahui, maka pada keadaan ini, lokasi kanker asalnya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan biopsi.
Pemeriksaan CT lebih spesifik daripada skening tulang dan bisa membedakan antara lesi osteolitik dan lesi osteoblastik.
PENGOBATAN
Pengobatan tergantung kepada jenis kankernya. Ada kanker yang memberikan respon yang baik terhadap kemoterapi saja, penyinaran saja atau kombinasi antara kemoterapi dan terapi penyinaran; tetapi ada beberapa jenis kanker yang tidak menunjukkan respon terhadap keduanya.
Pembedahan untuk menstabilkan tulang kadang-kadang bisa mencegah terjadinya patah tulang.
Lesi yang tidak memiliki resiko fraktur patologis, bisa diobati dengan penyinaran atau kemoterapi yang sesuai. Lesi yang memiliki resiko fraktur patologis, sebaiknya distabilkan melalui pembedahan elektif sebelum terjadinya patah tulang. Tujuan dari pembedahan adalah untuk mempertahankan stabilitas dan fungsi sistem otot-kerangka tubuh dan untuk mengurangi nyeri. Pembedahan darurat dilakukan pada metastase ke tulang belakang dengan tujuan untuk mempertahankan fungsi neurologis (persarafan).

Demam Tifoid

Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan  oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.
Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.

A.   Definisi
                 Demam tifoid merupakan infeksi sistemik serius yang disebabkan oleh patogen Salmonella entericaserovar Typhi yang lazim disebut Salmonella typhi. Jika disebabkan oleh serotipe yang lain disebut demam paratifoid. Biasanya gejala klinis keduanya tidak berbeda, walaupun demam paratifoid cenderung tidak separah demam tifoid.
                 Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti bekas negara Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.
                 Berdasarkan data yang diambil dari beberapa rumah sakit di daerah endemik, usia terbanyak penderita demam tifoid berkisar antara 5-12 tahun. Pada anak di bawah usia 2 tahun, penyakit ini secara klinis cenderung bersifat ringan dan sering tidak terdiagnosis. Bagaimanapun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai epidemiologi dari segi usia spesifik penderita demam tifoid.
                 S. typhi merupakan patogen enteri k yang sangat virulen dan invasif yang menyerang manusia. Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau minuman oleh bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita demam tifoid.
                 Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 10-14 hari dan gejalanya muncul bertahap. Paling sering berupa gejala demam yang tidak spesifik, seperti sakit kepala, lesu, nyeri otot atau nafsu makan menurun. Awalnya demam cenderung mereda, tetapi secara bertahap meningkat setelah minggu pertama sampai mencapai suhu lebih dari 40oC. Gejala lain yang timbul meliputi mual, muntah, menggigil, batuk, lemah dan radang tenggorokan.
                 Chloramphenicol adalah obat pilihan utama untuk demam tifoid sejak dikenalkan pada tahun 1948. Alternatif lain adalah ampicillin (atau amoxicillin) atau trimethoprim-sulfamethoxazole. Tetapi multidrug resistance yang terjadi pada era 1970 - 1990 menyebabkan obat-obat tersebut saat ini lebih sering digantikan dengan fluoroquinolone atau cephalosporin generasi ketiga.
                 Sebagai tindakan pencegahan dapat diberikan imunisasi di daerah endemik tifoid seperti Indonesia. Vaksinasi ini disarankan bagi orang yang berisiko tinggi terkena demam tifoid, termasuk petugas laboratorium yang harus memeriksa sampel tinja penderita serta wisatawan yang bepergian ke daerah endemik tersebut. Ada tiga macam vaksin tifoid, yaitu (i) vaksin sel bakteri Salmonella typhi utuh, tetapi tidak lagi digunakan karena toksisitasnya tinggi, (ii) Ty21a, merupakan vaksin bakteri hidup yang dilemahkan dan diberikan secara oral serta (iii) ViCPS (Virulence polysaccharide antigen) yang berasal dari kapsul bakteri tersebut yang diawetkan dalam phenol dan diberikan melalui injeksi intramuskular atau subkutan dalam.
                 Keadaan karier kronis dapat dibedakan dari infeksi dini melalui respon serologis terhadap Vipolysaccharide, karena umumnya karier mempunyai titer antibodi yang sangat tinggi terhadap antigen tersebut.
B.   Etiologi
       Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. (Ashkenazi et al, 2002).
                 Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa.
                 Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. (Ashkenazi et al, 2002).
                 Salmonella memiliksi antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. (Ashkenazi et al, 2002).
C.   Patogenesis
                 Salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. (mansjoer, 2000) Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II (Darmowandowo, 2006).
                 Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll (Darmowandowo, 2006).
                 Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler (Darmowandowo, 2006).
  D. Manifestasi Klinis

              Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
   1.    Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
   2.    Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
   3.    Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.
                                                                                                        (Darmowandowo, 2006)
  E. Patofisiologi
 
F. Diagnosa
       1.    Anamnesa
       2.    Laboratorik
              2.1.    Leukopenia, anesonofilia.
              2.2.    Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III.
              2.3.    Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada  stadium rekonvalescen titer makin meninggi.
              2.4.    Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat
              2.5.    Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
                                                                                                            (Darmowandowo, 2006)
G. Pengobatan Medakamentosa
                 Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
     1.    Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
     2.    Ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari.
     3.    Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari.
     4.    Kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
              Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. (Darmowandowo, 2006).
              Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara barat.
              Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
              Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. (Mansjoer, 2001)
              Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. (Mansjoer, 2001)
              Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. (Mansjoer, 2001)
H. Komplikasi
                 Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
       1.    Komplikasi intestinal
              1.1.    Perdarahan usus
              1.2.    Perforasi usus
              1.3.    Ileus paralitik
       2.    Komplikasi ekstraintetstinal
              2.1.    Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
              2.2.    Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
              2.3.    Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
              2.4.    Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
              2.5.    Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
              2.6.    Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
              2.7.    Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
          Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna. (Mansjoer, 2001)
I. Penatalaksanaan Penyulit
          Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus. (Darmowandowo, 2006)
J.   Pencegahan
          Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara, yakni umum dan khusus / imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
          Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium. (Department of Health and human service, 2004)
          Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
          Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
          Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik. (Department of Health and human service, 2004)
          Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi). (Department of Health and human service, 2004)